11

2.8K 63 0
                                    

Mobil putih yang mereka tumpangi membelah jalanan yang padat dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan, Lydia terus mengajak Allen mengobrol. Wajahnya tampak sangat cerah begitu dia melihat Allen dengan dandanan yang dia inginkan. Allen sendiri hanya menjawab dengan canggung setiap kali Lydia bertanya.

Theo, sebagai supir dari mobil itu, sangat fokus memperhatikan jalan dan tak sekali pun mengikuti percakapan mereka. Selama obrolan mereka berlangsung, tak sekali pun Lydia menyebutkan tempat tujuan mereka hari ini.

Allen sudah berusaha membawa topik obrolan tentang hal tersebut ke permukaan, namun Lydia selalu menenggelamkannya kembali. Dia tidak ingin topik tersebut di bahas, karena tempat tujuan mereka kali ini adalah rahasia.

Beberapa menit kemudian, mobil mereka terhenti di pintu depan sebuah cafe bertema klasik. Cafe yang sama dengan tempat Allen pertama kali bertemu Lydia. Di depan pintu, seorang pria sudah menunggu kedatangan mereka, bersama Jeina, sahabat Lydia.

"Udah sampai. Sekarang, turun sana." ucap Theo ketus, tanpa melihat mereka berdua secara langsung. Hanya dari kaca spion depan mobil.

Bukannya membuka pintu mobil dan turun, Lydia malah menarik Allen ke pelukannya, lalu berbisik lembut di telinganya, "Mulai detik ini kamu akan menjadi temanku, Al. Beraktinglah dengan baik."

Lydia lalu turun dari mobil, berlari memeluk Jeina yang langsung mendorongnya menjauh. Allen termenung dalam mobil, menatap Lydia dan kedua temannya itu dari dalam mobil. Dia tidak terlalu mengerti dengan apa yang dimaksud Lydia sebagai 'teman'.

"Al? Ada apa? Ayo turun," panggil Lydia riang.

Allen tersentak. Dia segera melompat turun dari mobil, mendekati Lydia, berdiri canggung di sampingnya. Namun Lydia malah pergi menjauh darinya dan mengobrol dengan laki-laki tadi, meninggalkan Allen berdua saja dengan Jeina.

"Tch." decak Jeina kesal. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, memutar bola matanya. Jelas sekali tidak suka dengan kehadiran Allen. Allen sendiri tidak tahu bagaimana dia harus bersikap, jadi dia hanya berdiri diam di tempat, menggenggam tasnya erat-erat.

"Kamu beneran temen Lydia?" tanya Jeina tidak percaya. Dia menatap Allen lekat, mengamatinya dari atas kebawah. Tak sekalipun muncul keraguan dalam hati Jeina kalau Allen sebenarnya bukanlah seorang gadis manis.

Allen mengangguk pelan, meremas tali tasnya lebih erat lagi. Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak nyaman dengan tatapan tajam Jeina. Wanita itu menghela napas kesal, lalu bersandar ke dinding.

"Cowok yang lagi ngomong sama Lydia itu Cecil, aku Jeina," ucap Jeina ketus, tanpa menatap Allen. Allen sendiri hanya mengangguk-angguk pelan menanggapi Jeina. Sebercak rasa takut dan khawatir muncul di hatinya.

Tak lama, Lydia kembali, dan Theo juga datang sehabis memarkirkan mobilnya. Mereka lalu masuk dalam cafe itu mengobrol santai. Cecil rupanya adalah pemilik cafe mewah ini, dan Jeina adalah pacarnya. Lydia sendiri malah mengenalkan Theo sebagai pacar Allen.

Anehnya juga, Theo berakting dengan baik sesuai naskah yang dibuat Lydia. Entah sejak kapan mereka berdua menjadi boneka di atas panggung ciptaan Lydia.

Mereka berempat duduk bersama, mengobrol santai selagi Cecil menyiapkan minuman pesanan mereka.

"Sejak kapan kalian pacaran?" tanya Jeina santai pada Theo. Dia sudah tidak bersikap sedingin tadi, sekarang dia jadi jauh lebih ramah.

"Ah, kami sudah pacaran sejak setahun lalu," jawab Theo canggung. Tangannya meremas kuat tangan Allen diatas meja. Jelas sekali dia gugup. Allen sendiri malah lebih parah. Pikirannya sibuk berkecamuk, walau pun dia masih mendengarkan dan mengikuti obrolan mereka.

Tak lama, Cecil kembali dengan sebuah baki berisi 5 gelas kopi di tangannya, dan membagikan mereka satu persatu. Dia lalu duduk di hadapan Allen, menatapnya lekat. Jelas sekali menampakkan ketertarikannya pada Allen. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Dia menopang dagunya di atas meja, menatap Theo sinis, lalu kembali fokus pada Allen.

"Sejak kapan kamu berteman dengan Lydia?" tanya Cecil ramah pada Allen, sepenuhnya mengacuhkan Jeina yang mencoba meraih tangannya.

"Eh? I-itu, sekitar 2 tahun lalu," jawab Allen ragu. Dia melirik Lydia kesal, namundi wanita itu malah dengan santainya menyeruput kopi, mengacuhkannya.

"Begitu, sudah lama juga ya."

Allen hanya mengangguk menanggapi. Entah mengapa dia merasa sangat tidak nyaman ketika berbicara dengan Cecil. Laki-laki itu juga terus menatapnya dengan tatapan aneh. Allen meremas erat tangan Theo dengan tangannya yang sedikit gemetar. Bibirnya juga bergetar. Dia terus menunduk, menatap pantulah samar wajahnya di permukaan kopinya.

Lydia melirik Allen sejenak. Tangannya perlahan merayap turun ke paha Allen, mengelusnya sensual. Allen bergidik, dia langsung duduk tegak, memekik pelan ketika jemari lentik Lydia mulai mengelus area selangkangannya.

"Eh? Al? Kamu baik-baik saja?" tanya Theo datar. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran. Sejak awal dia sudah tahu semuanya akan jadi seperti ini. "Apa kamu sakit? Wajahmu merah."

Allen menjawab dengan gelengan singkat. Dia meremas tangan Theo lebih kuat lagi, menahan suaranya agar tidak keluar. Tangan Lydia merayap masuk dalam roknya, menyentuh ujung penisnya yang sudah berdiri tegak.

Tubuh Allen gemetar, napasnya sedikit terengah. Cecil menatapnya khawatir, tapi tidak dengan Jeina. Hal itu malah membuatnya semakin tidak menyukai Allen. Dia melipat tangannya, memutar bola matanya, dan mendengus kesal.

"Tunggu di sini sebentar, aku akan mencarikan obat," ucap Cecil tergesa-gesa. Dia segera bangkit dari tempat duduknya, namun Jeina lebih dulu bangkit. Memukul meja dengan sangat keras, lalu menoleh pada Cecil. Mendelik menatapnya.

"Allen baik-baik saja. Nggak perlu obat." ucap Jeina ketus. Tangannya menggenggam erat lengan Cecil, mencegahnya pergi. "Ya kan, Allen?"

Allen perlahan menganggukkan kepalanya singkat. Tanpa menatap Jeina atau pun Cecil. Dia merapatkan pahanya, kakinya gemetar hebat, sampai meja kayu tempat mereka itu ikut sedikit bergetar.

Tangannya ikut bergetar, mencengkeram erat tangan Theo sampai meninggalkan bekas merah. Lenguhan-lenguhan tertahan mulai keluar dari mulutnya satu persatu.

Lydia masih tetap saja melanjutkan aksinya, tangannya merayap masuk dalam celana dalam Allen, menggenggam penisnya yang sudah berdiri tegak. Dia mulai mengocok penis Allen dengan tempo yang sangat amat lambat, sesekali menyentuh ujung penis Allen, mengusapnya pelan.

Allen mulai mengerakkan pinggulnya sedikit. Dia meletakkan kepalanya diatas meja, menatap sayu tangan Lydia yang mengocok penisnya di bawah sana. Matanya terpejam rapat, tubuhnya tersentak setiap Lydia menyentuh ujung penisnya.

Satu persatu air matanya menetes, membahasi tangan Lydia. Namun wanita itu tetap saja melanjutkan aksinya.

"T-theo," erang Allen lirih. Dia perlahan menoleh ke Theo. Menampakkan wajah erotisnya pada sahabat tersayangnya itu.

Entah apa yang merasuki Theo, dia tiba-tiba berdiri, mengelus pipi Allen lembut. Bertanya dengan intonasi lembut. "Benar tidak apa-apa? Mau ke toilet?"

Tanpa menunggu lagi, Allen langsung mengangguk cepat, tangannya terjulur mencoba memeluk Theo. Theo menatap Lydia tajam, dan wanita itu langsung menghentikan aktivitasnya. Dia malah cengengesan, sama sekali tidak merasa bersalah terhadap sub nya itu.

Theo langsung menggendong Allen ke kamar mandi, meninggalkan mereka bertiga. Namun bukannya ke kamar mandi, Theo malah membawa Allen kembali ke dalam mobilnya di parkiran.


~


22-23, 6, 2022

Lovers (21++)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang