Aku bukan mahasiswa teladan yang patut dijadikan contoh: tidur di dalam kelas, terlambat mengerjakan tugas, disertai rentetan nilai C di hampir setiap semester. Apalagi yang kaubutuhkan untuk meyakinkan bahwa aku bukanlah mahasiswa teladan? Kalau orang-orang di luar sana tahu bagaimana sikapku selama kuliah, mungkin mereka sudah menyesalkan kelahiranku yang mengambil kesempatan kuliah orang lain, padahal mereka tak mengenalku.
Memang, seharusnya aku bisa meningkatkan prestasi akademikku, tapi hal itu bukanlah perkara mudah. Siapa mahasiswa di dunia ini yang mampu mendapatkan nilai tinggi, berorganisasi, bekerja hampir penuh waktu sampai-sampai terkadang sengaja kubohongi manajerku, berkata bahwa aku sakit, padahal aku hanya ingin beristirahat, dan menjaga adik hampir setiap saat, memacu jantung ketika ia tak ada di sekitarku malam-malam?
Aku terpaksa mengorbankan beberapa kewajiban untuk memenuhi kebutuhan yang lain, terutama adikku itu. Setidaknya, murid-murid di tempatku mengajar tidak tahu bahwa IPK-ku berada pada ambang batas kelulusan. Kalau tidak, mungkin salah satu dari mereka akan mempertanyakan kredibilitasku, mengadu pada orang tua, dan membuatku berada dalam masalah. Tempat les sih tidak peduli selama tidak ada aduan, dan mereka merasa bahwa aku bisa mengajar dengan baik.
Kenapa aku memiliki banyak tanggung jawab seperti itu? Mungkin kalian semua penasaran. Ketika kuceritakan hal yang sama, kebanyakan orang menduga bahwa aku terpaksa hidup berdua dan menghidupi adikku, yang sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Salah besar, malah.
Kedua orang tuaku sebenarnya masih ada, tetapi mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena pekerjaan. Adikku memiliki dua pilihan mutlak yang salah satunya harus ia ambil: ikut kedua orang tuaku bekerja dan berpindah sekolah, setidaknya setahun dua kali, atau menetap bersamaku yang kebetulan berkuliah tak jauh dari rumah dan sekolahnya. Bukan pilihan yang mudah.
Tak seharusnya seorang anak memilih salah satu di antara kedua pilihan itu, tetapi orang tuaku tak ingin mengorbankan pekerjaan. Mereka berdalih bahwa semua kekayaan itu untuk kelangsungan hidup kami berdua.
Aku berhasil menghasut Galih, adikku itu, untuk memilih pilihan kedua.
Ah, kata menghasut itu tampaknya terlalu berlebihan, karena pilihan itu juga untuk kebaikan adikku sendiri. Sebagai seseorang yang pernah berpindah-pindah sekolah, entah sampai berapa kali semasa hidupnya, aku tahu bagaimana perasaan selalu menjadi anak baru setiap saat, tanpa bisa mengawetkan pertemanan, bahkan hanya untuk bersama satu orang saja. Kurasa aku tak pernah benar-benar memiliki teman sampai masa kuliah tiba, dan itulah alasanku untuk ngekos, padahal jarak rumahku dengan kampus tak terpaut lebih dari sepuluh kilometer. Aku membutuhkan sosialisasi.
Lagipula, rumahku itu hampir selalu kosong, biasanya hanya terisi ketika aku libur kuliah, waktu yang tepat untukku berjalan-jalan. Aku tak ingin mengulangi rasa malu karena tak tahu daerahku sendiri, semuanya dipicu ketika seseorang menanyakan alamat padaku beberapa tahun lalu.
Kadang aku bingung. Kenapa orang tuaku itu sampai harus membeli rumah kalau mereka memang senang berjalan-jalan karena pekerjaan? Ya, tapi pertanyaan itu tak pernah kuutarakan langsung pada mereka, sih. Kalaupun mereka mendengarnya, paling-paling mereka akan menjawab, "Nanti juga kalau kerja kamu ngerti." Namun, jangan salah, bukan berarti aku membenci mereka. Setidaknya mereka masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku dan Galih du ujung dunia sana.
Kedua orang tuaku kini sedang berada di Eropa—Inggris lebih tepatnya, meninggalkanku dan adikku berdua. Bukan kejutan yang berhasil mengerucutkan kedua alisku.
Sebenarnya kami pernah memiliki asisten rumah tangga. Namun, semenjak ibuku kehilangan banyak perhiasan, ditambah dengan sang asisten yang tidak pernah kembali lagi setelah pamit untuk pulang, rencana menambahkan orang asing untuk tinggal di dalam rumah selalu dicoret dari daftar kewajiban. Salah kami juga, sih, karena tak melakukan pengecekan secara teliti akan barang-barang bawaannya sebelum pulang. Namun, yang pasti, sekarang Galih menumpang tidur di kosan-ku, karena tak akan kubiarkan dia tinggal sendiri di rumah walaupun ia sudah kelas empat SD.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]
Science FictionDunia dilanda musim salju tanpa henti. Firman dan adiknya, Galih, berusaha bertahan hidup dari dunia yang dingin dan manusia-manusia lainnya yang akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.