18. Di Malam yang Tenang

81 19 3
                                    

Sudah berapa lama musim dingin berlalu? Aku tidak tahu. Sampai berapa lama musim dingin ini akan terus berlanjut? Aku juga tidak tahu.

Sudah berapa lama aku berjalan di luar sana, mencoba bertahan hidup, melewati badai salju berhari-hari, mendapati perut kosong karena persediaan makanan yang tak mencukupi, melawan segerombolan orang yang sama-sama bertahan hidup, menikam perut manusia karena ia berusaha untuk menghabisi nyawaku lebih dulu?

Tidak tahu. Aku tidak tahu. Semuanya berjalan begitu saja. Tanpa waktu, tanpa batas, dan aku tak tahu kapan kebiasaan ini akan berakhir, kapan kehidupan kami akan kembali seperti semula. Bahkan, aku tidak tahu apakah manusia dapat kembali hidup sebagaimana mestinya kalau memang dunia kami yang dulu akan datang kembali, menyambut kami.

Inilah keadaannya. Aku tak dapat berkilah, menyalahkan kehidupan, berteriak bahwa dunia ini tidak adil, ketika setiap detiknya nyawaku berada di ujung tanduk. Beradaptasi adalah satu-satunya cara untukku bertahan hidup, yang mungkin sebagian besar orang tak dapat lakukan, membuat mereka semua mati kedinginan, membeku, di dunia dingin tanpa ampun ini.

Tak ada aturan, semua pertimbangan nilai moral manusia tergantung dari sudut pandangmu.

Orang-orang ingin bertahan hidup, tetapi untuk apa? Menunggu dunia yang dulu untuk kembali? Dari mana kau yakin dunia itu kembali?

Tidak ada jawaban yang pasti, atau malah mungkin memang tidak ada jawabannya.

Aku tidak hidup seorang diri. Di luar sana, ada orang-orang yang sama sepertiku: penyintas sederhana yang terlanjur hidup di dunia ini, berusaha melakukan apapun yang mereka bisa selama mempertahankan napas menjadi prioritas utama dari setiap pilihan. Sayangnya, rasa muak akibat tak adanya kepastian membuat beberapa orang menyerah.

Kematian Ade memukul keras pemikiranku. Ada banyak hal yang bisa menghantam batinnya hingga hancur, membuatnya berpikir untuk meninggalkan dunia ini. Semua pengalaman yang kudapatkan dari manusia-manusia lain: rasa kehilangan, kehancuran, tak dapat menjamin masa depan yang lebih baik, membuatku bertanya-tanya, kenapa hal yang sama tak terlintas dalam benakku?

Apakah aku beruntung?

Aku tidak tahu apakah ketidaktahuanku atas status orang tuaku, serta adanya Galih yang terus menemani perjalananku, berhasil menepis pemikiran-pemikiran buruk yang mungkin saja akan hadir tanpa kedua hal itu.

Apakah orang tuaku selamat? Apakah mereka sudah membeku di luar sana?

Berdasarkan probabilitas, mungkin kebanyakan orang berkata mereka tak akan selamat. Namun, aku sendiri berhasil bertahan sampai sejauh ini, kan? Kenapa aku tak dapat percaya seandainya mereka juga berhasil bertahan?

Selama aku belum melihat mayatnya secara langsung, maka tak ada alasan untukku percaya bahwa mereka pasti telah mati.

Aku tak akan membohongi diri sendiri, berpura-pura menyukai dunia ini, terus menjalani hari dengan senyum tanpa rasa paksa.

Jenuh sudah pasti menghantui, dan rasanya lebih parah daripada harus mendengarkan dosen yang tak mampu menyampaikan materi dengan baik. Namun, aku tak ingin meninggalkan trauma mendalam untuk Galih, yang entah dapat dia terima atau tidak.

Seluruh tatanan kehidupan yang sudah manusia bangun sebelumnya tak dapat kusubstitusi dalam dunia ini. Aku harus menghadapinya, dan lambat laun Galih harus kuajari untuk mengikuti aturan yang berlaku di dunia ini.

Jadi, apa tujuanku hidup sekarang?

Jawabanku masih sama: aku ingin Galih aman. Aku tidak tahu kapan kami akan berpisah, tak dapat saling bertemu satu sama lain, dan aku tidak hanya berbicara tentang raga, melainkan nyawa.

Tempat penampungan itu sudah tiada. Aku tidak dapat menaruh harapan pada tempat yang sama. Namun, aku memiliki secercah harapan, berusaha mencari tahu apakah di depan sana akan ada kehidupan menjanjikan yang diinginkan orang-orang.

Peta itu, yang ditinggalkan si perampok, menjadi tujuan utamaku sekarang ini.

Ada apa di kota sana? Aku juga tidak tahu.

Apakah di luar sana benar-benar ada kota yang berhasil bertahan, berisikan manusia-manusia yang berhasil bertahan hidup dan membuat peradaban baru? Bagaimana jika ternyata semuanya sudah berubah menjadi reruntuhan seperti tempat penampungan terakhir yang kudatangi?

Tak ada kepastian. Dunia ini memang tidak memiliki kepastian.

Aku sudah mengunjungi berbagai tempat, dan hampir semuanya memiliki fenomena yang identik: tak ada yang bertahan, kecuali beberapa orang yang sudah berubah menjadi sinting.

Namun, memang dunia sudah berubah, kan? Mungkin dunia ini memang cocok untuk ditinggali oleh orang-orang sinting.

Mereka, orang-orang baik yang berusaha mendahulukan orang lain malah mati lebih dulu. Hana, Ade, dan mungkin harus kusebut juga nama Dirga, walaupun ia hanya menghilang, dan aku tidak tahu pasti apakah laki-laki itu masih berhasil bertahan hidup atau tidak.

Jadi, aku berusaha untuk tak memikirkannya lebih jauh.

Tak ada masa depan, kecuali dalam urusan makanan. Semua kehidupan kami hanya ada di hari yang sama, berujung pada dua pilihan yang tak kau ketahui mana yang akan kau dapatkan: hidup atau mati.

Aku sampai di kota seberang setelah entah sudah berapa lama rintangan harus terus kuhadang. Galih yang ada di belakangku bertanya, "Di mana orang-orang?" Namun, aku tak tahu jawaban apa yang sebenarnya anak itu ekspektasikan.

Apakah di depan sana orang-orang akan menyambutku? Atau jangan-jangan mereka semua mendapatkan nasib yang sama seperti apa yang terjadi di tempat penampungan?

Aku tidak tahu. Tak ada jawaban yang bisa kudapatkan sebelum mencari tahu.

Jadi, aku berkeliling, berusaha mencari seorang manusia yang dapat mengakhiri seluruh perjalanan ini, membuat batas malam yang tenang untuk dunia dingin yang tak berujung.

Aku harap semuanya akan berakhir di tempat ini.

🎉 Kamu telah selesai membaca Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI] 🎉
Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang