Sejak kejadian itu, perjalanan tak pernah dapat kulakukan dengan tenang. Sekian menit sekali, selalu kuputarbalikkan kepalaku, mencari tahu apakah Erik bersembunyi di balik dinding gedung sembari masih memperhatikan kami.
Setiap malam, aku tak pernah bisa tidur dengan tenang, karena rasa takut seandainya Galih, secara tiba-tiba, menghilang dari sisi tubuhku, selalu muncul begitu saja. Semua itu diperparah dengan tak adanya tempat tujuan, membuatku dan Galih berjalan luntang-lantung ke sana ke mari hanya untuk mendapatkan sisa makanan.
Namun, masalah besar yang mengganjal pikiranku sekarang adalah bagaimana pertemuan Galih dengan Erik berhasil mengatur ulang cara adikku bersosialisasi, bahkan termasuk mengobrol denganku.
Galih masih demam, mungkin juga menjadi salah satu penyebab dirinya hanya menanggapi seluruh pertanyaanku dengan tanggapan-tanggapan dasar, seperti, "Hah?" atau semacamnya. Namun, dia benar-benar tak menunjukkan rasa ketertarikan untuk segala hal yang kuucapkan.
Matanya kosong, dan aku yakin pikirannya selalu melayang ke mana-mana. Aku tahu, dulu, di dunia sebelum salju turun, Galih selalu merasa terkhianati ketika teman-temanku merokok setelah anak itu larang. Namun, rasa percayanya pada seseorang, yang ternyata membuat anak itu mengonsumsi daging manusia tanpa sepengetahuannya, adalah bentuk pengkhianatan yang jauh lebih besar dari yang bisa diterima oleh anak-anak.
Itu bukan kelakar bodoh seorang mahasiswa yang mempermainkan anak-anak. Kalau boleh kusandingkan, aku melihat Erik mempermainkan Galih dalam sebuah kehidupan yang mampu mengubah tatanan pemikirannya di masa mendatang.
Walaupun aku terus berusaha untuk mengalihkan pikirannya, bukan berarti aku berhasil melakukannya, dua puluh empat jam secara terus-menerus, mampu membuatnya kembali menjadi Galih, seorang anak kecil yang secara tak sengaja harus bertahan hidup di dunia seperti ini. Selain itu, kurasa pikirannya yang berat itu semakin memperparah kondisinya.
Aku kehabisan obat penurun panas, belum lagi dengan persediaan makanan yang entah ada atau tidak di hari yang sama. Terkadang, seharian penuh aku dan Galih hanya mengisi perut dengan air. Kalau beruntung, kami akan menemukan sisa makanan setelah meneliti, secara terperinci, satu persatu gedung yang ditinggalkan. Terkadang kubiarkan Galih untuk memakan semuanya, berbohong bahwa aku sudah mengambil bagianku, dan melihatnya bertahan hidup hari demi hari di saat sulit seperti ini.
Namun, semua itu tak berlangsung amat lama, sampai akhirnya seluruh persediaan yang kami bawa habis tak bersisa. Benar-benar kosong. Tersisa sebilah pisau dan beberapa buku yang Galih bawa, itu pun dengan jumlah halaman yang semakin lama semakin berkurang, karena aku membutuhkan helaian kertas itu untuk memulai pembuatan api. Untungnya, Galih sudah membaca semuanya. Senter dan kayu bakar menjadi bahan tambahan yang kami bawa, tetapi tak mungkin kami makan.
Semua kondisi ini membuatku sadar akan sesuatu: aku tak dapat meninggalkan Galih seorang diri begitu saja, tetapi juga tak mungkin kubawa dia terus-terusan, apalagi dalam keadaan sakit seperti ini. Aku tidak menganggapnya sebagai beban yang patut kutinggalkan di belakang, tetapi memang ada beberapa situasi yang membuat perjalananku lebih cepat jika aku bergerak seorang diri.
Biarpun selalu kusimpan pilihan meninggalkan Galih pada tempat terakhir, akan ada situasi yang mewajibkanku meninggalkannya. Hal itu tak terelakkan, seberapa keras pun aku berusaha untuk tak menggunakan pilihan itu.
Jadi? Aku terpaksa memberitahunya beberapa cara untuk melindungi diri. Tidak, bukan berupa bela diri yang bisa ia gunakan di saat genting, karena aku sendiri tidak pernah mempelajari bela diri apapun, melainkan penyerangan biasa yang kurasa bisa diterapkan oleh anak kecil.
Aku bukan ahlinya. Jangan salahkan aku kalau memang aku salah, tetapi hal itu lebih baik daripada aku harus selalu was-was ketika pergi seorang diri, mencari makanan, dan membiarkan Galih beristirahat dengan kondisinya yang sama sekali belum membaik. Ya, walaupun pikiranku tetap melayang ke mana-mana, sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]
Bilim KurguDunia dilanda musim salju tanpa henti. Firman dan adiknya, Galih, berusaha bertahan hidup dari dunia yang dingin dan manusia-manusia lainnya yang akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.