Tiga buah kematian dalam satu hari penuh bukanlah peristiwa wajar yang bisa kuproses begitu saja dalam otakku, terlebih dua di antaranya bukanlah kematian biasa yang disebabkan oleh hal-hal natural, kecuali kalau kau pikir kematian seseorang akibat tusukan benda tajam, yang kemudian benda itu hilang entah ke mana, adalah hal yang wajar.
Aku tidak perlu bertanya lebih lanjut, mencari tahu siapa orang brengsek yang berani-beraninya mengambil dua nyawa, apalagi salah satunya adalah anak kecil. Laci-laci yang kosong, lemari yang terbuka tanpa isi, hingga kondisi berantakan dapur, di mana Dirga akui seharusnya berisi penuh makanan, jelas menunjukkan bahwa penyerangnya adalah para penyintas, sama seperti kami, yang kelaparan dan tak mau berbagi, atau mungkin sekadar orang-orang egois yang akan melakukan apapun untuk bertahan hidup.
Mereka mengambil semuanya tanpa sisa, termasuk nyawa manusia. Bagian paling buruk, kurasa Dirga memiliki pemikiran yang sama denganku, melihat bagaimana kondisi Hana dan Yuda yang terkapar, melihat bagaimana dari seluruh isi rumah.
Hanya dapurlah yang berantakan bagaikan kapal kecah yang tak dibersihkan. Melihat bagaimana tak adanya bekas masuk paksa sama sekali, baik dari depan pintu rumah maupun jendela tempat kami keluar masuk, membuatku berhasil memikirkan sebuah skenario yang mungkin terjadi..
Orang-orang asing datang dan meminta bantuan. Hana, dengan senang hati, menyambut mereka masuk dan menawarkan bantuan. Orang-orang itu memberontak, mencuri seluruh benda yang mereka inginkan. Hana melakukan perlawanan dan timbullah kecelakaan. Selain itu, bisa kubayangkan Yuda, yang dengan polosnya mengikuti orang tua mereka, ke mana pun mereka pergi, juga menjadi korban kebengisan para penyintas sialan itu secara tak sengaja..
Itu adalah terkaan. Mungkin kejadiannya tidak persis sama. Namun, mendengar cerita yang Dirga lontarkan sebelumnya, tak dapat kupikirkan skenario lain yang lebih baik, yang lebih tepat, dari skenario yang kupikirkan itu. Masalahnya, kurasa katalis terjadinya tragedi itu adalah ... aku.
Coba saja kau pikirkan. Kalau memang Dirga dan Hana menemukanku sebagai orang pertama yang mereka selamatkan, bagaimana mungkin perempuan itu berkata tidak untuk orang-orang selanjutnya? Aku bisa membayangkan senyuman perempuan itu, ketika seseorang membutuhkan bantuannya, persis seperti apa yang Dirga ceritakan.
Mungkin itu alasan Dirga berusaha menghiraukanku. Dia tak menjawab pertanyaanku, tak memberikan sepatah dua patah kata, sedikitpun, setelah tangannya berlumuran darah akibat memangku Yuda yang tak kunjung membuka mata.
Mungkin selama ini, kejadian yang sama terus terjadi, hanya saja tak sampai Hana mempersilakan mereka masuk, entah karena Dirga melarangnya, atau ia tak berani melakukannya. Dan aku, si orang pertama yang mereka selamatkan, membuka gerbang keberanian itu, menuju sebuah kesengsaraan bernama kematian.
Ingin bertanya pun percuma saja, karena Dirga tak akan menjawab pertanyaanku.
Di hari yang sama, aku tahu rasa kehilangan mutlak, di mana kau benar-benar tak dapat berinteraksi dengan seseorang yang kau kenal, di mana kau tahu kenyataan itu tepat di depan mata. Kenyataan pahit yang terkadang tak dapat diterima begitu saja, terlebih ketika kau tahu, beberapa jam yang lalu, masih bisa melihat senyum mereka. Bukan sesuatu yang dapat dilalui dengan mudah. Namun, aku tak tahu seberapa keras rasa itu menghantam ketika dua orang manusia yang kau kenal dengan dekat, dengan sangat dekat, hilang begitu saja.
Setelah beberapa menit meratapi tubuh terluntai anak dan istrinya, yakin bahwa mereka berdua tak mungkin kembali hidup tanpa adanya sihir terlarang untuk membangkitkan orang mati, Dirga langsung membawa mereka berdua keluar, melewatiku dan Galih tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga. Ketika aku berusaha memanggilnya, setidaknya untuk mengucapkan bela sungkawa, Dirga kembali menjadi seorang lelaki dingin yang tak akan pernah merespon semua stimulus dari luar tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]
Science FictionDunia dilanda musim salju tanpa henti. Firman dan adiknya, Galih, berusaha bertahan hidup dari dunia yang dingin dan manusia-manusia lainnya yang akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.