Prolog

71 9 4
                                    

“Tenang dalam sesak itu palsu”

Tenang, tapi sepi. Mulutku terkatup menggaungi sunyi yang melabuh. Dunia terlalu menyedihkan untuk  sang peminta keadilan. Gemuruh dingin angin menyelimuti epidermis. Membangunkan rambut halus untuk tergerak merinding, kedinginan.

Ditemani sinar alami dari sang purnama terlukis goresan pena yang sedari tadi menemani gelapku, menenggelamkanku dalam pekerjaan sinaps pada celebral cortex yang belum memiliki rambu-rambu pemberhentian.

Perjalanan pena terlepas. Menyandar pasrah pada dinding monokrom, merengkuh memberi pelukan pada diri sendiri. “Hug me, please!” lirih membisik pada suhu ruang yang tak mendukung. Tetesan pilu membasahi ranum merah jambu pipi.

Telunjuk meraih butir air di sela senggukan napas, menatapnya lembut seiring simpul di ujung bibir terbentuk. Oksigen perlahan masuk tersaring bulu hidung, “Dr. Muna Ar-Rukhawi pernah berkata, bahwa kita tidak bisa begitu saja menerima secara mutlak bahwa menangis adalah salah satu dari jenis pengobatan atau pengganti dari obat.”

Kelopak menutupi mata sepenuhnya, bibir menjarak membiarkan gigi terpampang seutuhnya.
“Hmm,” hentakan napas memutar piringan hitam dalam kepala. Menyenandungkan suara-suara penuh luka, yang kucoba menikmatinya.

Komplikasi kejadian berputar dengan kecepatan kegelapan. Dada merajuk enggan ternetralisir, detak berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Telapak gemetar menduduk tepat pada pusat sesak, pandangan memburam, sepotong telapak yang lain tengah menjambak kasar rambut hitam tanpa ampun.

Gigi menggertak tegas. “Mengapa harus aku?” raungku penuh amarah. Alis menaut merasakan perih sisi hidung bagian atas. Pelipis menjelaskan denyut nadi yang berlebih. Kedua tangan mengepal geram, “apakah kehidupan hanya permainan? Hahaha,” tawa miris berselancar. “Manusia?” Kepalan meninju dinding kasar. “Manusia layak terombang ambing tanpa memiliki kekuasaan?” Monokrom dinding kini terwarnai merah darah. Amarah meredup “Cantik,” ulasan binar mata yang menggantikannya.

Tubuh terhempas kasar pada empuk kasur bersprei putih tanpa motif. Mengamati salah satu satelit bumi tanpa atmosfer yang tampak berupa lingkaran utuh. “Gemas,” gumamku memujinya.

Sunggingan senyum belum sampai terlepas, “Purnama suka bercanda ya?” riangku bermonolog. Melepas pelukan spring bed, terbangun gusar.

Kutekuk kaki, menumpu tubuh pada gluteus maximus. Membuat pola segi empat dari kedua tangan, menempatkan siku pada kedua lutut. Kurobohkan kepala sejenak, “Tapi langit tidak suka bercanda yang sia-sia. “

Berat mata memberikan sinyal atas lelah yang terbangun, tubuh  ini cukup lelah mengikuti kinerja otak yang selalu menggelitik indera untuk tetap terbangun.

Sayup sayup terlihat anakan erasia terlelap pulas memeluk induknya. Aku dengki. Rasa kantuk menghilang tanpa jejak, tertelan amarah yang sedetik lalu mengguyur emosional. Kepala menunduk perlahan, kedua tanganku mengusap muka kasar, menjambak rambut yang sepanjang ilalang. “It’s the fucking situation.” 

Brukkkk!

Pintu kamar terbuka menabrak dinding di sebelahnya, diri tersentak. Mata redup menutup, lalu membuka dengan ketajaman selayaknya jarum. Gemetar kaki seketika berhenti, menjatuhkannya ke bawah untuk menapak lantai.

Berdiri, kemudian membalikkan tubuh perlahan. Semacam anak panah yang menusuk, itulah tatapannya. Mata hitam lekat penuh amarah, kepalan tangan, serta gertakan gigi yang mengancam. Ia siap menerkam.

Diri masih berdiri mematung, hormon adrenalin menguasai seluruhnya. Kepala menunduk, mencoba mencegah  cengkeraman berbisanya. “Sorry,” ujarku lirih.

Derap kaki terdengar, semakin dekat, semakin keras, hingga mendadak hilang. Belum sempat detik berpindah ke detak setelahnya, terasa goncangan kuat tepat memenuhi kepala. Cengkeramannya mampu menyapu seluruh rambut dan menggoyangkan sesuai irama kemurkaannya. “Tuli kamu ya?” Amarahnya tampak makin memuncak.

Jemariku meraih pergelangannya memohon, “Cukup ma cukup.”

Tak berhenti, tumbukan terasa menghujam kepala bagian belakang. Tubuhku melemas, pandanganku menjadi buram. Denyut kepala terasa lebih jelas. “I want to die,” bisikku pasrah.

“Saya memanggilmu sudah berapa kali? Jawab!” ucapannya terdengar anarkis.

Kepala menunduk sembunyikan air mata. “I don't hear you, ma.” Sebuah pembelaan terlontar. “Please let me go.”

Telunjuk dan ibu jarinya mencapit daguku, lalu menariknya kasar. “Bisanya cuma ngebantah, rumah hampir terbakar gara-gara kamu menuli. Lihat tuh Dista, dipanggil sekali langsung datang, belajar kamu sama dia!” cecar wanita itu dengan raut kebencian.

Gigi menggertak dalam diam, tangan menyambar pergelangannya kasar. Kemudian melemparnya sembarang. “Dista Dista Dista, terus saja Dista! Ini Ica ma, beda sama Dista! Kenapa sih mama selalu ngebandingin Ica sama Dista? Padahal mama Dista juga jauh lebih ba-.” Tamparan keras mendarat di pipi bagian kiri, sakit.

“Mau bilang apa kamu? Maksud kamu mamanya Dista lebih baik dari mama? Jaga mulut kamu, bedebah!” Sorot mata tajam membidik keberadaanku, lisannya benar-benar telah menciptakan benci dan kecewa yang terpadu.

Mulut  terkatup dalam sakit yang tak mampu tersampaikan. Pagar pertahanan telah hancur, aku menangis. Tubuh melemah, melemas jatuh terduduk pada dingin lantai. Bibir memberontak dalam gigitan yang kuat, amis kini beralih menjadi rasa manis.

Radista, manusia kutub yang istimewa bagi mama. Namanya selalu berhasil mengambil alih perdebatan antara aku dan mama. Aku membencinya, Aku membenci semua tentangnya. Manusia blesteran Asia-Eropa  yang kukuasai seluruh ceritanya, kurasa dia lebih bedebah.

Cengkeraman itu perlahan melemah, menjauh dari rambut anak gadisnya. Aku takut. Memejamkan netra dan melirihkan tangis, membiarkan rambut memunculkan makna tidak terurus. Jemariku gemetar, menahan isak yang terus mendesak.

Cairan berwarna merah terus membanjiri bibir, meninggalkan rasa amis di setiap alirannya.
Kepala terus menunduk, menunggu wanita itu meninggalkan ruangan ini. “Tuhan ... tolong,” batinku memohon.

Tak hanya bibir, kini hidung pun turut mengotori lantai, mimisan. Suara langkah kaki kembali terdengar, tapi kali ini menjauh. “Pintu ini jangan ditutup.” Aku terdiam pasrah mendengarnya.
Jemari meraih ranjang kuat, menjadikannya sebagai katrol yang menarik tubuh berdiri. Tertatih berjalan, lalu mencubit kasar tisu di ujung kasur. Menyeka darah yang masih membanjiri diri.

Kembali kubuka gambaran yang belum terselesaikan, mengamati arah goresan yang terpampang acuh. Indah, tapi sesak. Cukup menggambarkan perasaan. Meraih pena cepat, lalu terdiam dan memejam. Merasakan setiap desir angin yang melintas, emosional terlampiaskan dengan genggaman.

Klek!

“Satu pena lagi?” Sepertinya hal ini yang membuat toko alat tulis mudah mengenalku. Terlalu sering membeli pena.

Rasa kantuk telah hadir kembali, membuatku harus membaringkan tubuh beristirahat. “Merajut benang damai memang sulit ya, apalagi dengan diri sendiri.” Hari sudah cukup larut, Sepertinya kembali dalam dunia mimpi adalah halusinogen berlabel halal yang terus akan menjadi sasaran kala berisik otak menyelubung memenuhi malam.

Remang-remang lampu cukup menjadi pertanda pemiliknya sudah memasuki alam bawah sadar.
Ini ceritaku, bukan fantasi tapi penuh ilusi, bisa dianggap nyata tapi hanya bermodal luka. Kau siap menyelami perihalku? Tentang bagaimana aku memutar otak, mengurai kata, dan melangkahkan kaki? Percayalah kau akan tenggelam di dalamnya.






















Hai semuanyaaaaa🤩
Jangan lupa vote dan komen yaaaa🥰
Jangan lupa komen juga, kritik dan saran membangun sangat saya butuhkan 😚
Semoga hari kalian menyenangkan☺️
Sampai jumpa di bab 1✋✋✋

SORAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang