Cerita Mimpi

30 4 2
                                    

"Mimpi tak selalu fantasi"

Nafas terasa berat, tersenggal menyadari dingin suhu sekitar. Keram terasa menerima cairan infus yang kian menetes. Mata membuka perlahan, rasa sakit yang bersemayam memudar mengikuti detik yang berjalan.

Mama menangis menatapku, tubuhku tergerak untuk memeluknya erat. Tapi tembus. Bagaimana mungkin dua raga tak mampu bersatu, kecuali salah satunya bukan benar-benar raga.

Ceklek!

Bunyi pintu terbuka oleh tangan ayah, dengan mata sembab khas pascatangis. Ayah memegang bahu mama perlahan, dan berkata," Ma, makan dulu."

Mata tak berkedip melihat peristiwa yang baru saja terjadi, ayah mampu melihat mama. Tapi mama tertembus olehku, panikku memuncak," Mamaaaaa? Mama lihat Ica kan?"

Mama tak bergeming seolah tak terjadi hal apapun, dia mengusap keningku pelan. Lebih tepatnya, kening ragaku. Aku telah berpindah alam? Aku meninggal?

Teriakan kencang keluar dari mulutku"Mamaaaaaaaaaaaaa." Mencoba menggerakkan tubuh dengan kasar. Mata memejam, mengencangkan jeritan diujung pita suara.

"Kenapa nak? Ica? Ica kenapa sayang?" panik mama meneduhkan kepalaku di atas dadanya.

Batinku berkata, "Syukurlah hanya mimpi."

"Apa yang sakit nak? Bilang sama mama!" rintih mama memintaku dengan tulus. Tidak ada kalimat yang mampu tersampaikan. Seandainya mama mengerti arti pelukanku kali ini, aku sangat takut meninggalkan mama. Aku benci tangisan mama, apalagi jika aku adalah alasan mama melakukannya.

Erat pelukan tak kunjung mereda, isak tangis mulai hilang. Lebih dari 30 menit berlalu, mama masih setia menjadi sandaran gadisnya. Jika waktu bisa terhenti, maka aku tidak akan pernah melepas pelukan itu. Aku membenci detik yang selalu berjalan, aku membenci semuanya, apapun yang memisahkan aku dan mama.

"Sayang," serak papa membuyarkan pemikiran.

"Nak, itu mau disuapin makan sama papa. Makan dulu ya, mama ambil air dulu." Mama bergerak melepas pelukan, membiarkan papa menempati bekas duduknya. Masih hangat katanya.

Canda papa mampu membuatku terlupa perihal mimpi yang benar-benar jahat bagiku. Manusia humoris yang menjadi cinta pertamaku, Antonio Crasio. Sosok lelaki yang aku ingin suatu saat nanti pasanganku sama sepertinya. Caranya memperlakukan mama, sungguh mengagumkan.

"Ca, papa ke kamar mandi dulu ya," ujarnya seusai suapan yang kelima. Aku hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan.


Melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di sebelah selatan ranjang rumah sakit yang aku tempati.

Bosan merambah, aku tidak bisa sendirian. Teringat mimpi yang sangat terasa nyata, pikirku terdobrak. Aku pun tidak mungkin tanpa mereka. Semuanya akan terasa hampa. Bagaimana nanti jika aku sendirian di alam sana? Aku memiiliki dua kaki bukan berarti aku mampu berjalan sendirian, tanpa mama dan papa.

Gema pikiran terus melambung memenuhi suasana. Mencoba berpikir positif atas setiap hal yang terlintas dalam otak. Apapun itu, kami tidak mungkin terpisah.

Ceklek!

Raut bahagia muncul, tapi hanya sebentar. Mengetahui yang membuka pintu bukan mama, tetapi seseorang yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sepertinya, aku seumuran dengannya. Anak kecil berkulit putih bersama bekas luka di beberapa titik tubuhnya. Dia mendekatiku dengan perlahan, menghilangkan rasa takut yang tersemat.

SORAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang