Enyah

24 4 2
                                    

"Lebih baik tak mengerti"

Sesak tersimpan menanggapi kondisi yang semakin menekan. Pilihan memberantas pemikiran tentang risiko tindakan tidak lagi menjadi jawaban.

Seorang manusia mungkin tak menginginkan hal buruk menghampiri kehidupannya, tapi tanpa sadar hidup perlu bencana.

Entah semacam apa yang memang dimaksudkan, tapi pada dasarnya tidak setiap manusia mampu menahan amarah sebagai respon klasik suatu masalah.

Aku percaya, kehidupan adalah pilihan. Yang katanya pernah Tuhan pertanyakan. Tapi melalui siapa kita hadir dunia, apakah juga termasuk yang Tuhan gariskan?

Mengintimidasi angin dari kejauhan, mata menyorot tajam siluet lelaki dibalik tirai seberang. Gelap malam tak sampai menutupi kebul asap dari bibir tipisnya. Lelaki bajingan dengan ribuan kata membanggakan.

Mencoba menepis benci dalam hiruk malam, melamunkan alur terlaksana hari ini. Sebagaimana dalam cerita senja, semesta dan kita tak selalu searah.

"Ca, tidur!" Keras suara menghancurkan lamunan.

Mata memejam lelah bersamaan napas berhembus resah. "Iya," jawabku malas.

Derap langkah menandakan wanita itu telah pergi. Tanpa meraup banyak drama, aku akan menurutinya malam ini.

Memundurkan kursi kemudian membungkuk menggayuh jendela. Jemari menarik pelan hasilkan suara khas pengait kayu. Gerakan ku terhenti, menyadari hal baru dari siluet lelaki yang sedari tadi mencoba mengusik pikiran, Radista.

Semacam membenamkan kepala, lalu meraup wajah kasar. Mata menelisik lebih detail, dia menangis. Sesenggukan lirih cukup terdengar dibanding malam penuh sunyi.

Tirai putih transparan mengatung di jendelanya, membuka rahasia-rahasia yang seharusnya tidak ku ketahui. Dia tengah bersandar pasrah. Jarak dua meter cukup memberikanku banyak informasi malam ini.

Srekkk!

Tirai terbuka kasar, menampilkan kondisi mengenaskan seorang Radista. Kemeja putih tak berkancing, memublikasi bidang dada yang dimilikinya.

Menutup mata rapat, mengintip dari sela jemari. "Lo liatin gue?" Ucapnya kasar.

Sorot matanya tajam seakan mengancam keberadaan ku, menggertak giginya marah. Darah mengalir di ujung bibir menambah kesan seram. "Sorry, aku nggak bermaksud." Kedua tanganku menyatu berusaha meminta maaf atas kebodohan dan rasa benci yang menyelusup.

Menaikkan alis sebelah, lalu meludah sembarang. Indera penciumanku masih cukup peka dengan bau alkohol pemicu halusinasi. Dia cukup bodoh di sini.

Matanya memicing mengabaikan ketakutanku. Jemarinya menonjolkan telunjuk dan menidurkan jemari lain. Membidik tepat keberadaan ku, "Awas Lo!" Nadanya terlampau tegas.

Menundukkan kepala dalam penyesalan, seharusnya tak membenci, seharusnya tak memancing, dan memang lebih baik tidak mengerti. memejam dan terdiam, menautkan wajah dengan telapak tangan yang dingin. Gemetar masih terasa. Dia bukan lelaki biasa.

Srekkk!

Tirai tertutup menampilkan kembali siluet dari lelaki dibaliknya. Tampak membalikkan botol kaca dengan ujung menyentuh bibir.

Mencoba mencerna setiap hal darinya, aku termenung. Menutup jendela perlahan takut mengusiknya.

Radista terlalu penuh cerita, dia butuh tempat yang lebih luas. Selama ini aku membencinya dengan alasan mama selalu membanggakannya.

Pyarrr!

Telapak spontan menyentuh dada, terkaget mendengar ricuh yang cukup dekat.

Brukkk!

"Mati aja kau ya!" Lantang suara seorang wanita. Bersamaan tawa lelaki yang sesekali meringis.

Penasaran membungkam rasa takut, memasang telinga lebar dan mengintip di sela jendela yang belum tertutup penuh.

Pertunjukan wayang balik tirai yang indah terusak juga malam ini. Siluet manusia berambut sebahu tampak menyiksa putra sulung di hadapannya.

"Lo tau? Bertahun-tahun gue besarin lo buat jadi anak yang bener." Suara meninggi, dia berdiri menggenggam kerah kemeja putra sulungnya.

Dista membuang muka acuh, tamparan keras mendarat di pipi mulusnya. "Pergi lo dari sini!" Dorongan kasar menjatuhkan lelaki itu tersungkur.

Dalam tatap sendu, menggigit bibir kuat. "Akankah suatu saat aku akan menemui hal yang sama?" Mataku meneduh, ketakutan menguasai emosi.

Berlari tergopoh menjatuhkan tubuh dalam pelukan kasur. Memejamkan mata menangkap guling erat. Membenamkan diri dalam selimut hangat di sela sepoi dingin.

Memejam mata perlahan. "Tuhan, aku takut." Air mata membanjiri suasana. "Enyahkan Tuhan, kumohon," lirihku meminta.

Masih tersedu, pikiran meraung menyadari alur yang terjadi. Masa lalu yang kembali menampakkan diri dan rahasia-rahasia yang mulai terbongkar. Apa maksud semua ini?

Aku seperti tahu semuanya, tapi aku terjerat dalam tekanan. Lebih baik jika semuanya pergi, tanpa terkecuali.

Tangis mereda, menggapai lamunan malam yang sunyi. Menggemakan kejadian-kejadian yang masih mencoba kulupakan.

***

"Ca,"

Tanpa menghadap kearahnya, "Hm?" jawabku malas.

Dia terdiam dalam tempatnya, mencoba mencairkan suasana. " Mau kemana?" tanyanya seperti membuang waktu.

"Ruang guru," akhir kata sebelum langkah kembali menapak meninggalkan.

Lelaki itu terlihat masih diam di tempatnya. Bertahun menutup mulut ternyata telah menjadi biasa yang kusuka.

Menggenggam gagang pintu, membukanya perlahan. Anggukan menghormati manusia-manusia pengajar kuterapkan lembut.

Menghampiri bangku kosong bertuliskan Margaret, S.Pd., MSc. Meletakkan kertas dalam map berwarna hijau sesuai perintah, lalu berbalik untuk kembali.

Seusai menutup pintu, terlihat Rasyaka menghampiri. Dia membawa kertas, nampak ada hal penting yang harus dia bicarakan.

Maju selangkah lebih dekat, "ada apa?" tanyaku tenang.

"Kamu ikut olim?" ucapnya tergesa. Alisku menaut, "Olim apaan?"

"Ini," tanggapnya sembari menunjukkan kertas yang tengah di genggamnya.

Merasa sedang mengikuti ajang lain, aku menggelengkan kepala cepat. "Kamu ikut?" tanyaku berbalik.

"Ngga juga sih," jawabnya kemudian terduduk.

Sibuk dengan kepala masing-masing, aku ingin sedikit bercerita. "Sya, tau nggak?" Matanya menyorot kearahku.

"Untuk pertama kalinya, dia kembali mengajakku berbicara." Pandanganku meredup, alisnya tampak menebak-nebak lelaki mana yang sedang aku bicarakan.

"Zee?" Anggukanku mengusaikan tebakannya. "Tapi bukannya dia dekat dengan Anya?" hatiku terlonjak kaget.

Aku mencoba memastikan, "iyakah?"

"Heem," sebuah kata penegasan terlontar. "Kenapa? Cemburu?" tanya berakhir kekehan yang kubalas gelengan kepala.

***

Telapak menutup mata rapat, kedatangannya adalah luka baru. Padahal luka lama belum sempat sembuh.

Melirik diary di atas nakas, menggapainya cepat. Aku ingin menuliskan sesuatu.

Tuhan, kumohon enyahkan
Aku hanya ingin ketenangan










JANGAN LUPA VOTE N KOMEN❤️❤️❤️

SORAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang