"Takdir itu misteri"
Sorot satelit alami bumi telah tergantikan oleh pusat tata surya. “Hoammm...,” Uapan pagi membuang oksigen berlebih. Jam sudah membentuk lingkaran penuh dengan ujung jarum di angka enam, cukup kesiangan tapi kesiapanku masih belum terproses.
“HEH ANAK BIADAB, MAU JADI GELANDANGAN KAMU JAM SEGINI MASIH TIDUR? HAH?!” Nyaring suara terdengar menggema di luar kamar. Tubuh terbangun duduk di tepi ranjang, jemari meremas sprei kuat. “Huh menyebalkan,” getirku menggelengkan kepala cepat.
“DASAR ANAK TIDAK BERMASA DEPAN.” Sepertinya penyebutan suara jahanam tidak ada salahnya di sini, telingaku terasa terbakar. Terlalu lama mendengar bisa membuatku terkremasi. Sontak tubuhku bergerak dan beranjak memasuki ruang berlantai dingin, kamar mandi.
Malas berhasil mengambil alih jiwa. Tak ingin menggunakan gayung, jemari terangkat menekan tombol shower. Aku terdiam, terkalut dalam kontemplasi yang terjadi. Mengamati setiap gerik air yang terjatuh. Setetes, dua tetes, tiga, empat, lima ... suaranya riuh bertabrakan dengan sesamanya. Sebuah filosofi perasaan yang sedang berbenturan, goncangan kuat terjadi. Siapa yang bertahan adalah siapa yang mampu meredam goncangan itu.
Napas terhembus lengah menyadari kelemahan yang mulai terasa. Sudahlah, tidak baik pagi-pagi sudah mencari celah kegalauan. Membuka pengikat rambut dan membenamkan kepala pada dinginnya senyawa H2O adalah hal terbaik menepis kekalutan rasa. Berganti dingin yang menyeruak membahasahi luka-luka hasil drama sebelum tidur, perih. Memendam dendam, benci, dan amarah di waktu tidak tepat membuatku enggan untuk pergi ke sekolah. Kestabilan akan sulit terjaga, dan pada akhirnya kebenaran adanya lemah dalam diri akan terungkap.
“Mereka harus mengerti kehidupanku yang sempurna, bukan aku yang terluka,” gumamku nada berbisik.
Sepoi angin tampak mendukungku untuk kembali berbenah memasuki dunia fiksi alias mimpi. Tapi mengingat umpatan dan hujatan akan masa depan terus berisik dalam kepala. Setidaknya, aku masih berusaha mendapatkan masa depan yang dia maksud.
Jarak yang cukup jauh mengharuskanku memanfaatkan transportasi roda dua untuk menempuhnya. Menyalakan dengan cepat dan mengendarainya dengan jiwa Rossi adalah pilihanku pagi ini. Setidaknya delapan menit cukup untuk sepuluh kilometer perjalanan.
“Are you ready?” seruku pada diri sendiri. “Okay, i’m ready.” Menggapai gas memutarnya cepat, meliuk hindar dari kendaraan-kendaraan yang melintas.
Hari ini cukup cerah dibanding biasanya, deretan awan putih nampak menggemaskan. “Tiga mobil kedepan, let’s go!” seruku meriang telah mendahului tiga pajero yang menghadang.
Netra menyipit, mendapati truck besar yang tengah melaju kencang. Hormon adrenalin tergugah untuk mengajarnya, “Brum!” Sinis melambung dari kedua belah bibir, melirik speedometer lalu mengencangkan tarikan gas, “Loh mobilnya berhenti?” Ekspresi memudar.
Rem motor berdecit dadakan, “What the fuck.”Napas berantakan, mendapati diri hampir menabrak truck pengangkut bebatuan. Jantung berdegup kencang, tengan gemetar hebat, “oke stabil, oke stabil.” Ketenangan belum cukup, tapi waktu mendorong untuk menancap gas kembali.
Tepat lebih lima menit dari bel berbunyi cukup menyatakan bahwa aku terlambat, gerbang telah tertutup rapat. Artinya, Aku harus menunggu sampai satpam bersedia membukanya.
“Hari yang buruk,” gumamku mengingat segala keresahan. Mata memicing ke arah dashboard, ada bubble gum di sana. Mencapit kemasannya dengan telunjuk dan jari tengah, kemudian memasukkannya pada goa kematian, seraya berkomtemplasi pagi sebagai bentuk pemanasan terasa cukup menyenangkan.
Merogoh saku cepat, ku temukan earphone putih lalu menyempilkannya pada salah satu telinga. Kemudian menyambungkannya dengan smartphone.
“Aku sudah hampir di ujung jalan,” gumamku mengikuti merdu suara Kunto Aji.
Mata menyusuri sekitar, melihat manusia-manusia yang berada pada takdir dukkha. “Kita bisa ... selama masih ada ... rumah untuk pulang ...,” lirihku sembari berpikir. Semacam menjalani sebuah perjalanan yang telah terkonsep sejak awal, tapi manusia tidak mengetahui bahkan sedikit dari konsep itu sebelum menjadi realita. Terdengar dibodohi.
“Transformasi bisa saja terjadi, jika seseorang memang mengusahakannya. Tuhan memberikan takdir, tapi takdir tidak selalu abadi, itulah fungsinya berilmu sebelum berbicara,” terdengar serak yang menghancurkan lamunan.
Kepala menoleh seketika, alis menaut heran. “Apa-apaan sih, nggak jelas,” bantahku merasa tidak mengeluarkan suara.
“Menafsir hidup itu perlu ilmu dan ikhlas, jangan hanya sebatas dendam.” Senyum smirk tersusun di bibirnya, sorot mata menindas membuatku menghela napas marah.
Kepala beralih membelakanginya, “Siapa juga yang menafsir hidup, aku cuma kasian aja sama mereka.” Keberadaanku merasa terancam.
“Ketika seseorang melihat sesamanya keras mengikuti alur pencipta, secara spontan simpati itu muncul, tergabung dengan kondisi diri seseorang itu. Dan kamu bukanlah orang yang pandai sembunyikan ekspresi, terpampang jelas kamu merasakan ketidak adilan takdir,” jelasnya semakin mengusikku.
Kedua alis menaut, bibir memiring terganggu. “Terlalu banyak bicara dan sok tahu,” gertakku menekan dibalas kekehan ringan membuatku semakin merasa direndahkan.
Sahutan tidak lagi terdengar, aku kembali menikmati alunan musik yang sedari tadi kuabaikan karenanya. “Yang tak aku bidik, yang tak aku cari. Duga benih patah hati lagi ...,” lirihku membersamai irama interaksi yang tertangkap oleh membran timpani.
“Gerbang sudah dibuka, sekolah biar pikiran bayimu bisa berkembang!” Lagi-lagi suaranya memekikkan telinga, nada menghina membuatku ingin mencengkeramnya.
“Pikiran bayi? Hah? Apa maksudnya? Menyebalkan.” Memutar kunci, menyalakan motor, lalu menarik gas memasuki gerbang. Memutar setir mengarahkan sesuai arahan satpam, lalu mematikan motor cepat.
“Kamu terlambat lagi ya? Emang ngapain saja dari pagi? Saya aja sudah sampai jam enam tadi,” cecar seorang guru menyadari jumlah keterlambatanku hampir batas ketentuan.
Aku menatapnya dengan tersenyum. “Maaf Bu.”
“Ya sudah catat nama kamu di sini, besok jangan diulangi!” Aku mengangguk ragu sembari meraih kertas kecil yang diberikan.
Seusai merelakan nama tertulis pada daftar siswa terlambat. Aku kembali melajukan motor untuk menempatkannya di tempat kosong yang tanpa sadar bersebelahan dengan lelaki perusak mood pagi ini.
Dengan raut penuh kebencian, segera melangkah seakan tersengat listrik untuk berjalan lebih cepat. Bersikap seolah-olah keberadaannya tak kasat mata, mencoba menghapus fakta bahwa kepalaku penuh kalimat tentangnya.
Kedua telapak tangan mendarat di kepala, mata membuka lebar panik, “Apakah dia seorang malaikat?” gumamku terdengar bodoh.
“Atau dewa? Betapa malunya aku jika dia adalah salah satu diantara kedua sosok itu huaaaaa,” teriakku sembari melaju melangkah lebih lebar dan cepat. Mengabaikan seluruh tatapan aneh yang membidik.
Brukkk!
“Aduh.” Lutut terbentur halaman lapangan yang keras nan kasar, perih. Wajah mendongak mencari keberadaan manusia penghadang jalan. Gigi menggertak penuh amarah, raut mukanya nampak tak memiliki rasa bersalah.
“Saya bukan malaikat atau bahkan dewa. Berhentilah berpikir yang tidak perlu.”
Lagi dan lagi, dia berlagak membaca pikiran. Kutempatkan telapak menumpu untuk kembali berdiri, “Kalau jalan itu pakai mata!” tegasku dengan menunjuk mata kanan menekan.
Alisnya menaut, seolah menunggu perkataan selanjutnya yang akan berselancar melewati lidah. “Dan satu lagi! Jangan sok tahu!” Aku terpancing rautnya.
Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar. “Dasar manusia lemah!” anarkisnya muncul sebelum kemudian tubuh jangkungnya menjauh, tentunya dengan menabrakkan bahunya menyingkirkanku.
Tanpa merubah posisi, kepalaku memutar mengikuti arahnya pergi. “Bajingan,” umpatan mengakhiri emosional yang bersemayam.
Bersikap seolah tidak terjadi apapun adalah pilihan terbaik dalam kondisi sial seperti ini. Bersenandung pelan sebagai bentuk ketenangan pikiran, meski pada kenyataannya ucapannya terus terngiang. Bagaimana dia bisa semenyebalkan itu? Mendadak hilang, mendadak ada dengan berbagai ocehan menyedihkannya. Aku sungguh tidak bisa berpikir jernih.
Kelas masih ramai sebagai tanda guru pengajar belum hadir. Kududukkan diri pada bangku kayu bercat coklat dan kembali berusaha menghapus pemikiran tentang lelaki itu. Namun nihil. Bahkan namanya kini menjadi tokoh utama dalam kepala, Agam Ananta.
Perawakannya tinggi, putih, kurus, dengan rambut belah tengah cukup menjadi sorotan. Pernah kudengar cerita tentangnya, kecerdasan dan kelihaiannya dalam dunia filsafat. Tapi tetap saja, bagiku dia menyebalkan.
“Icaaaaaaaa,” teriakan nyaring seorang perempuan rambut sebahu yang kini berlari ke arahku. Namanya Kaira Sasyakila, manusia lucu yang menerimaku menjadi teman sebangkunya.
Kedua tangannya merentang lalu membungkuk cepat. “Dari mana kamu?” tanyaku sembari memberikan hugback kepadanya.
Sasya mendekatkan mulutnya ke telingaku, mengawasi sekitar, dan menutup dengan tangan kanannya.“Kamar Mandi. Biasa, put out something that is not needed to benefit the school,” bisiknya cengengesan.
“Emang apa benefitnya buat sekolah?” tanyaku menyambung.
Pupil matanya bergerak menatap langit-langit ruangan, berpikir. “Nggak tau sih.” Jemarinya membuka Instagram lalu membenamkan diri pada dunia reels dihadapannya.
Aku meletakkan tangan di atas meja. Memaku telapak tangan dengan siku bagian kiri, begitu pun sebaliknya. Menidurkan kepala menindihnya, memejamkan mata sejenak.
“Menafsir hidup itu perlu ilmu dan ikhlas, jangan hanya sebatas dendam.”
Pelisanannya kian menggaung dalam kepala, mengusik ketenangan seorang gadis kuncir kuda yang tengah terpilin kehidupan.
30 menit telah berlalu, hiruk pikuk masih terdengar keras di seisi kelas. Sebagai tanda belum ada satu pun guru yang mengisi. “Ini gurunya kemana sih, Sya?” tanyaku memperjelas. Tapi gelengan kepala Sasya cukup menjelaskan semuanya.
Jam kosong semakin merusak pagiku, perdebatan otak belum juga usai. Ketakutanku akan kelemahan yang terungkap benar-benar membuatku tidak nyaman.
“Kalau ada guru izinin ya, ke kamar mandi sebentar.” Aku beranjak untuk setidaknya menciprati wajah dengan dingin air. Menapak pelan dan mengamati sekitar yang masih cukup asri untuk menenangkan diri. Membuka pintu kamar mandi dan mengguyurkan beberapa ml air membasahi wajah. Kemudian menatap cermin lekat. Terlihat begitu menyedihkan.
“Sesulit itu ya menjauhkan saya dari pikiran? Cukup! Jangan bicarakan saya meski dalam kepala. Saya tidak suka.” Amarahku memuncak, mengetahui sosok lelaki yang sama sedang berdiri di belakangku. Dia tidak suka? Padahal dia sendiri yang menjadi penyebabnya. Damn it.
Haiiiiii pembacaaaaa setiaaaa Sorai 😍
Bagaimana? Jangan lupa vote, baca, kritik juga YAAAAAA🤩
Makasih sayang sayangnya akuuuuuu ,🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
SORAI
Teen FictionMenjadi baik mungkin keinginan yang umum, dan manusia selalu meminta hal yang lebih khusus. Di mana ketika kehidupan mulai menampakkan kebejatannya, siapa yang mampu menghalanginya? Akankah diam yang selalu menjadi jawabannya? Aku membencinya, benar...