Bicara

30 2 0
                                    

"Cengkerama senja dalam aksa"

Polusi meraung mendukung terik yang membunuh. Semerbak debu memperburuk suasana siang ini. Pulang tepat waktu ternyata bukan pilihan yang bagus. Berisik kendaraan besar cukup mengusik ketenangan. Aku lelah siang ini.

Entah drama apa lagi yang akan terjadi, firasatku tidak memberikan petunjuk apapun. Aku melirik langit sesekali, membenamkan diri pada lelucon hari ini. 

“Awannya cantik,” gumamku dengan  menarik simpul bibir. Secarik perjalanan hampir selesai, dua kali belokan dan sampai.

Pintu terbuka lebar, seharusnya memberikan bukti bahwa rumah ini sedang berpenghuni.
“Assalamualaikum.” Sepi, tidak ada sahut jawaban. “Assalamualaikum,” ulangku mencoba memastikan, tapi masih tidak ada sahutan.
Kaki melangkah masuk, tanpa menelusuri ruang lain otak telah mengirimkan sinyal pada tubuh untuk langsung menuju kamar.

Ceklek!

Kubuka pintu perlahan, memberikan decit halus yang sedikit berisik. Ku langkahkan kaki masuk, lalu menutup pintu dengan cepat.

Meletakkan tas kasar, melempar sepatu bebas, lalu menjatuhkan tubuh dalam pelukan kasur. Tubuh terlentang pasrah, mengamati langit-langit yang mulai tertumbuhi sarang laba-laba.

Pemikiran melamun, berbicara tentang bagaimana hari ini terjadi. Mulai dari perjalanan yang hampir merenggut kehidupan, sampai dengan lelaki penguntit yang bersikap mampu membaca pikiran.

Waktu terus berlalu tapi diri belum sampai menempuh rasa tenang. Tubuh terduduk, berniat menjalin cengkerama dengan Tuhan.

Air menghangat akibat pengaruh panas matahari menyentuh kulit kasar, merapal do’a dengan fasih kemudian menjalankan 13 rukun bersuci secara runtut. Terasa sedikit lebih tenang. Menggapai mukena kemudian berbicara kepada Tuhan, menyatakan seluruh kesah, meminta kasihan atas resah.

Semacam awan yang menurunkan hujan dengan derasnya, begitu juga mataku kali ini. Mengiringi doa bagai tumpahan samudera, membasahi seluruh ingatan tentang rasa sakit. Aku menyadari kelemahan itu, tapi aku benci jika ada orang lain yang mengetahuinya. Terutama lelaki stress yang terus mencari titik kelemahan itu, Agam Ananta.

Usai menyambung kebatinan, aku terdiam menatap buku harian yang terbuka. Tersungging senyum mengamatinya yang mulai terlihat usang. Kuning kecokelatan dengan tulisan masa kecilku yang terlampau buruk.

Aku ingin seperti langit
Tidak pernah dipandang Indah
Tapi tetap memberimu tempat untuk memandang keindahan

Menundukkan kepala dalam renungan, aku berpikir. Pada dasarnya sejak dahulu aku adalah aku yang ingin bermanfaat tanpa harus seseorang mengakui keberadaanku. Tapi mengapa saat ini Aku mempertanyakan segala hal yang ternyata adalah tujuan masa kecilku? Adalah sahutan dari bicaraku kepada Tuhan, adalah arti dari sebuah keikhlasan. “Aku membenci diriku, yang tidak konsisten dalam berbicara,” gumamku penuh kecewa.

Kelopak mata menutup, menyatukan harapan mengingat mengapa aku menulis kalimat tersebut? Mengapa aku pernah memiliki tujuan demikian?

***

12 Desember 2017. Ombak menghampiri dengan riang, tawaku pecah bersamanya. Senja menanti diujung cakrawala, raut dua manusia yang menjadi alasan keberadaanku sungguh tidak bisa membohongi bahagia.

“Icaaa, kesini nak mau hujan,” teriakan menghampiri gendang telinga.

“Iya ma bentar, istana pasir Ica hampir jadi.” Bangunan Istana pasir yang terbentuk segera kuselesaikan mengetahui rintik hujan mulai turun.

Perempuan itu terlihat melangkahkan kaki menghampiriku, “Ayo nak.” Aku menggapai uluran tangannya dan berlari bersamanya menuju gubuk kecil untuk berteduh.

Kedua manusia yang tengah terduduk semacam tidak ada yang berniat untuk membuka suara. Dingin menyeruak memenuhi suasana, mataku terus menatap setiap rintik dari gemericik. Mengamatinya seolah ada hal mengganjal dari setiap jatuhnya butir air.

“Ma, hujan itu dari awan yang menangis, ya? Awannya dijahatin sama siapa, Ma? Jahat banget buat awan menangis.” Tatapku meneduh seakan mengerti nasib awan.

Mama tersenyum kearahku, “Nggak ada yang nyakitin awan, dia hanya mengikuti jalan yang memang menjadi takdirnya, Ca.”

Aku terdiam, berusaha mencerna kalimat yang disampaikan mama. Lalu terlontar, “Dan awan masih membuat kita senang karena keindahannya?”

“Benar, kamu mau jadi seperti awan?” tambahnya semakin memusingkan.

Berisik seperti hilang ditelan perenungan, apa yang dimaksud mengikuti jalan takdir? Apakah hal itu hanya dilakukan awan? Aku tak mengerti. Aku hanya menatap awan sebagai kecantikan, bahkan bukan hanya awan. Tapi mentari, bulan, dan bintang. Aku mencintai mereka, tapi sekilas otak mengingat suatu hal yang pernah terjadi beberapa hari lalu. Ketika aku tengah memuji cantiknya bulan.

“Jadilah seperti langit!” ucap seorang lelaki tua dengan es krim di genggamannya.

Tanganku meraih es krim pemberiannya. “Kenapa?” tanyaku heran.

Telunjuknya mengarah pada langit malam yang indah. “Ia yang memberi tempat!” Sebelum akhirnya dia pergi tanpa memberikan penjelasan.

Hari ini, aku mengerti. Mengapa kakek es krim itu menyatakan demikian. “Enggak, Ica nggak mau. Ica mau Jadi seperti langit,” sahutku mantap.
Mama menghadap ke arahku. “Kenapa begitu sayang?” Mama menaikkan sebelah alisnya tampak bingung.

Kuurai senyum manis pada warna merah yang memantul di lautan , menyipitkan mata dan membuka suara, “Ica suka awan, Ica suka bulan, bintang, matahari. Ica terlalu sibuk melihat keindahan mereka, sampai Ica lupa kalau langit yang memberikan mereka tempat untuk dapat Ica lihat.”

Mama mengerutkan kening, sembari menjatuhkan pertanyaan, “Jadi maksudnya?”

“Dilihat ataupun tidak, Ica tetap mau menjadi baik.”  Binar mata merekah.

Peluk hangat terasa dari tubuh dingin mama, aku terdiam. Pikirku sedang terlampau jauh, sejauh ujung pantai seberang, aku ingin berbicara kepada aku di masa depan, “Buku Ica mana ma? Ica mau nulis sesuatu.”

Pena yang selalu tersemat di ujung baju segera kuambil untuk menuliskan hal indah hari ini. Memberi celah setiap nasihat yang terdengar ataupun pengajaran dari alam. Perihal bisikan Tuhan tentang rahasianya yang tersampaikan lewat sepoi angin serta pasir putih yang tengah terpijak.

Aku ingin seperti langit
Tidak pernah dipandang Indah
Tapi tetap memberimu tempat untuk memandang keindahan

Hujan mulai reda, tampak senja makin menua. Kicau burung membunyikan suasana. Jemari terpaut menyatukan rasa, saling menatap berbicara lewat mata. Mata memejam, memeluk kehangatan di balik dinginnya angin pantai yang sedang hujan. 

Kelopak membuka perlahan, jantung berdegup tak semestinya. Perasaan hancur seorang gadis kecil berumur 4 tahun, menatap sendu ke ujung pantai.
Pelukan mereda, membuka tanpa kata. "Mamaaaaaaa!” tangisku pecah mendapati istana pasir yang sudah tak berbentuk.

Raut mama terlampau khawatir, “Kenapa sayang?”

“Istana pasir Ica, Ica buatnya susah dan lama. Tapi hujan menghancurkannya,” sayatan menghujam perasaan, istana pasir itu telah rata dengan sekitarnya.

Aku berlari tanpa menghiraukan teriakan khawatir mama yang terus menggema. Rintik semakin deras senada dengan  gerak dedaunan bakau. Dia mengejarku, membuntuti tapak yang semakin jauh dari pelukannya.

“Aduh.” Aku terjatuh, tepat di samping istana pasir yang menggambarkan perasaan, hancur. Mama terdiam di belakangku, menggapai lembut pergelanganku dan menuntunku kembali berdiri secara perlahan.

Tanpa menghiraukan perih, kaki telah mampu berpijak kokoh, kulengkungkan tubuhku berharap hujan tak lagi membasahi istana karyaku. “Hiks, hiks, hiks ...,” tangisku sedu mengamati kondisi yang kacau. Nyatanya, aku selalu membenci perusak. Bahkan jika itu makhluk tak bernyawa seperti hujan.

Hening menguasai keadaan, mama masih berdiri pada tempatnya. Tak sekalipun bergerak, hingga kemudian berucap, “Kenapa berlari? Hujan deras dan angin yang cukup kencang tidak baik bagi kesehatan.”

Nadanya tegas, risau khawatir yang sedari tadi kuabaikan tidak lagi terdengar. Mama terlihat marah. Tapi salah aku apa? Aku hanya berniat melindungi apa yang telah kubuat susah payah.
Aku berteriak kencang, “Ica hanya ingin melindungi mereka, Maaa ....”

“Dengan cara hujan-hujanan seperti ini?” tandas mama dengan nada yang teramat dingin turut menyumbang gemetar.

“Asal mereka tidak rusak,” bantahku dengan tanggap.

“Tapi istana itu telah hancur, Ca,” bentak mama menghancurkan perasaan.

Tangisku terhenti, terngiang tegas mama dengan kalimat yang merobohkan harapan, “Mama kok tega sih.”

“Dengerin mama, kalau kita mau melindungi suatu hal seharusnya kita mampu melindungi diri kita terlebih dahu-.” Belum sempat usai nasehat dari mama, tubuhku terhuyung pucat. Kesadaran masih ada, tapi diri tak mampu menopang tubuh. Pandangan menjadi tak semestinya, semuanya tampak buram dan mememusingkan.

Kepala terasa semakin berat, sedikit mendengar teriakan mama memanggil Papa,” Paaaaa, Ica pingsan.” Mama menangis memelukku, hangat tubuhnya menguras dingin yang terasa. Tapi tetap saja, lemas menggantikan seluruh kekuatan, dan akhirnya netra menutup dengan sempurna.


















KRITIK SARAN DITUNGGU YA😍
Jangan lupa vote & komen
Terima kasih kaliannnnnn❤️ ❤️❤️

SORAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang