Dari masalalu

32 3 3
                                    

"Keabadian cerita"

Awan cukup ceria menyambutku di pagi hari, langit pun tampak berbisik rahasia tentang hari ini. Lengkungan bibir serta senandung deham seirama dengan gerak kepala. Sepertinya hari ini akan indah.

Memegang kedua tali tas di bahu kiri dan kanan, kemudian melengkah lalu bernyanyi. Hari ini adalah hari pengumpulan tugas fisika. Milikku belum selesai, oleh karenanya aku akan mengusaikannnya sekarang. Riang hati membuatku tak memerhatikan tempat, aku terduduk di lantai kemudian berkutat dengan angka-angka yang cukup memanjakan otak.

“Eh kayanya kebalik deh rumusnya,” gumamku bermonolog.

“Makanya tugas tuh dikerjain di rumah!” ujar seseorang sembari menepuk kepalaku. Serentak aku menoleh mendapati seorang Rasyaka Alviano tengah tersenyum sok manis . Khas dengan tinggi sekitar 165 cm, kulit sedikit gelap, dan hidung yang terbilang mancung. Gara-gara manusia tidak beradab itu, apa yang ada di kepalaku jadi pecah dan runyam.

Emosi serasa terpancing. “Yaudah si diam.”

Rasya hanya manggut-manggut dan melengkungkan bibir ke bawah, semacam menghina. Kembali menyatukan puzzle yang berantakan karena ulahnya, aku mengotak-atik rumus di depanku. Tidak memerdulikan sekitar, semuanya sunyi dalam sugesti.

Hampir selesai, nomor terakhir cukup menantang. Dalam jeda aku menelisik sekitar, menyusuri manusia-manusia penuh beban tugas yang mencoba tetap tertawa. Rasya tengah bersama Anya dan Arka, mereka terlihat serius membahas sesuatu yang tertebak adalah seni review kehidupan orang lain.

Termenung sekejap, mengingat semesta tengah berbohong kepadaku. Mengapa ia seolah berbicara bahwa hari ini akan menyenangkan? Padahal sama sekali tak kudapati dalam realita.

“Semesta yang jahat? Atau manusia yang terlalu berharap?” Suara itu lagi, memperburuk suasana. Mata melirik siap menerkam manusia dengan ocehan paling menyesatkan. Dia selalu berhasil mengerti arah pikiran, dan yang pasti menjatuhkannya.

Tanpa rasa bersalah, seorang Agam Ananta terus berjalan menuju koperasi di ujung lorong.

“Manusia semenyebalkan dia harus dimusnahkan,” geramku membidiknya.

Rasa kesal masih menyelubungi perasaan, mengelabui pikiran untuk terus berhenti dalam satu suasana. Belum sempat menghela napas lega, seseorang berbicara,” Ca, lagi ngerjain apa?”
Dalam diam, aku mengenali suara itu. Tapi ini kali pertama suara itu kembali memanggil namaku. Tahun berjalan seolah menenggelamkan cerita, membungkam seluruh jawaban atas rasa.

Masih dalam posisi membelakanginya, aku mencoba mendeskripsikan pada celebral cortex bahwa seseorang tidak benar-benar tengah berbicara denganku. Mungkin hanya suatu halusinasi sebab rindu yang tak kunjung memadu.

“Lagi ngerjain apa, Ica?” Hampir tersedak ludah, mendengarnya untuk kedua kalinya. Tubuh mematung mencoba mencerna keadaan, kemudian berbalik.

“Kamu nanya aku?” ucapku polos.

Dia mengambil napas panjang lalu menghembuskannya keras, seperti memberikan kode kekesalannya. “Iya Rebecca Clarissa.” Tertegun mendengar nama lengkapku terurai dari lisannya.

Rebecca Clarissa, tidak banyak yang mengerti nama panjangku. Panggilan Ica yang selalu bersemayam dalam benak mereka, terlampau jauh dengan nama yang sebenarnya kumiliki. 

SORAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang