Fantasi di Flamingo

29 3 1
                                    

"Tak seluruhnya mimpi adalah ilusi"

Dugaan-dugaan termuat dalam benak, memikirkan hal yang sesungguhnya tidak perlu. Tapi diri tidak mampu keluar dari kekacauan otak ini.

Menyeduh teh hangat dalam berisik rintik hujan. Menayangkan kecurigaan dalam kepala. Sepertinya ada yang mengusik ketenangan seseorang itu.

Sudut cafe dengan lampu remang-remang masih memperlihatkan bekas tangis pipi seorang perempuan. Kulitnya putih bersemu merah, rambut tergerai sebahu. Dia tengah terdiam menatap lurus pertengkaran sedotan dan gelas yang tengah dimainkannya.

Menelisik sekeliling tiada yang memperhatikan keberadaannya, seluruhnya sibuk dengan diri masing-masing. Menyeruput minuman cepat sebelum berdiri untuk menghampiri sosok asing itu. 

Berhenti di depannya, memiringkan kepala dan sedikit merendahkan badan. "Hai." Tanganku bergerak ke kanan ke kiri.

Jemarinya sontak menutup matanya gugup, membersihkan sisa-sisa tangis yang masih jelas dapat ku saksikan. "Hai? Kenapa?" ucapnya seraya terisak.

Perlahan tangan memegang punggung kursi bergambar hewan cantik yang menjadi tema ruangan ini, Flamingo. "Boleh aku duduk di sini?" tanyaku ramah.

Anggukan kepala diikuti senyuman darinya. Langkahku berbalik mengambil makanan dan minuman di meja seberang tempat sebelumnya aku bersandar.

Meletakkan dengan perlahan, lalu menatap kedua netra itu lekat. Suaraku melembut, "Kamu kenapa?"

Perempuan itu menunduk, menutupi separuh wajahnya dengan rambut hitam tebal. Air mata menetes seiring dengan isakan lirih.

Beralih dari hadapannya, aku menuju kursi tepat di sampingnya. Memegang kepalanya, memberi elusan sejenak, lalu menyandarkannya pada bahu milikku. Setidaknya dia merasa aman.

Tangan kiriku menyelipkan rambutnya di sela telinga. Menyambar tisu dan memberikan kepadanya. Rambutnya cukup berantakan, nampaknya dia sedang kacau. Entah seberapa banyak lelucon dunia yang menghancurkannya. Intinya, dia tidak baik-baik saja.

Tiba-tiba ia terduduk, melepas pelukan yang coba aku pertahankan. "Sorry ya," lirihnya lemah.

"Hei nggak papa, kalau sedih luapin aja nggak papa." Sorot mataku membidik tatapannya, dia kembali menangis.

Jemarinya mengusap lembut kelopak, membersihkan derai yang sedari tadi membasahi. "Kamu siapa?" Sadarnya belum mengetahui siapa aku, begitupun sebaliknya.

"Aku Ica, kamu?" Tangan menyingkap gerai tebalnya perlahan. Bibir pucatnya melengkung, "Aku Moana." Jantung seakan berhenti berdegup, merasa ada hal lain, dejavu.

Mata memejam mencoba mendeskripsikan pemikiran.

"Kenalin, aku Moana."

Suara meraung memenuhi telinga. Genggamanku beralih menjambak rambut kasar.

"Aku sudah cukup lelah menangis, tangisku tak mengembalikan apapun. Sedihku tidak akan mampu menghidupkan ayah... "

Guratan jerit semakin menggempur, sakit. Napas terengah seperti usai berlari.

"Mimpi itu," gumaman keluar dari mulutku.

Moana tampak panik, mata sembabnya khawatir mengerti keadaanku. "Kenapa Ca? Mimpi apa?" Nadanya tergesa.

"Nggak, lupakan." Senyum tulus mengakhiri raut bingung dari wajahnya. "Kamu... sedang kehilangan seseorang ya?" tanyaku canggung.

Moana terdiam, menunduk dalam lamunan. "Iya," jawabnya singkat.

Kedua tanganku membuka, menjatuhkan badan mungilnya dalam pelukan. "Menangislah, aku tidak akan memberhentikanmu." Menutup mata serta menghela napas letih.

Terbawa suasana cukup lama, isakannya mulai memudar. "Aku kehilangan ayah, aku kehilangan seseorang yang selama ini menjadi kekuatanku." Isakan yang sempat mengurai kembali cepat dan kencang.

Telapakku menguasai belakang kepalanya, menenggelamkannya dalam dekapan dada. "Aku kehilangan arah hidupku, Ca! Aku kehilangan nyawaku... " Tubuhnya gemetar, ku eratkan pelukan. Sesekali menyeka keringat dingin yang membahasi pelipisnya.

Jemarinya belum tenang sempurna, tubuhnya melemah dalam dekapan. Sorot matanya menatap chicken steak yang belum terjamah sedikitpun. "Makan?" tanyaku berusaha menerjemahkan arah pikirnya.

Giginya menggertak, jemarinya meluncur cepat sebelum kemudian berlari mendekati lorong toilet. Pisau... oh shit. 

Menendang kursi sembarang, mempercepat larian menuju ujung lorong. Menggerakkan knop pintu, tapi sedikitpun tidak ada perubahan. Pintu ini terkunci. Keringat membasahi tubuh, jantung berdetak lebih kencang. Entah apa yang dilakukan perempuan itu di dalam. Kubenturkan tubuh kasar pada pintu berbahan PVC. "Brengsek!" Pintu ini terlalu kuat dibanding tubuh lemahku.

Genggaman menjambak rambut frustasi, napas terengah semakin sesak, aku berlari ke arah kasir. "Kak! Kak!" Suara gemetar dengan keringat terus mengucur membuat karyawan itu nampak panik. "Iya kak kenapa?"

Bibir bergetar kesulitan menjelaskan, "kun-kunci cadangan toilet kak... " Telapak mencakar kuat dada, sesak semakin menyiksa.

"Teman saya terkunci." Memundurkan badan cepat, menyandarkan pada dinding yang dingin. Ini di luar kendali, mimpi itu benar-benar abadi, bahkan melebihi.

"Sebentar ya kak," Kasir itu pergi membicarakan sesuatu dengan rekannya, aku tak menghiraukan, menunggu cukup lama akan memperburuk.

"Semua akan pergi pada masanya, dan kita sebagai manusia tidak punya hak untuk menghalangi. Takdir tetaplah takdir, sebagai ciptaan Tuhan yang baik hargai jalan yang telah Tuhan buat."

Segala cakapnya masih terngiang dalam kepala, meski aku mendengarnya dalam dunia yang berbeda. Telunjuk serta ibu jari menyatu, menyakiti setiap jengkal tubuh. Berharap ini adalah mimpi, ini adalah fantasi.

Satu detik terasa cukup lama untuk menunggu seseorang memberikan kunci penting itu. Bulu kuduk terus merinding membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. 

Lemah badan tidak kuat menopang kekhawatiran, ini terlampau lama. tangan mengepal kuat, merapal harapan atas ketakutan.

Mata memejam mencoba menenangkan diri. "Mbak, mari saya bukakan." Suara mendekat menyadarkanku untuk cepat berlari. "Iya, mas."

Langkah tergesa dengan rasa panik tak terbendung. Memasukkan kunci kemudian memutarnya kekanan dua kali. Aku merasa tak sabar, degup jantung semakin kencang. Berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.

Tanpa menghiraukan keberadaan karyawan itu, aku menelusup masuk sebelum terhenti dan kemudian terjatuh lemah. 

Jantung terasa berhenti bekerja. Perempuan itu, perempuan yang baru kukenal beberapa menit lalu. Tangan putihnya telah dibanjiri warna merah yang memancar dari pergelangannya. Dia tersandar tak tersadar. Pisau bergambar flamingo tidak lagi terlihat menggemaskan, ini mengenaskan.

kedua kakinya terselonjor tanpa daya. Sembab matanya, berpadu dengan cipratan darah di sekeliling hidung dan bibirnya. Aku... gagal.

"Semua akan pergi pada masanya... "

"Semua akan pergi pada masanya... "

"Semua akan pergi pada masanya... "

Kepalaku terasa berat, perih. Netra menatapnya pilu, sesak menangis tersedu. Aku tak mampu bergerak atau bahkan beranjak.

Air mata menetes, bibir gemetar. Keringat dingin membasahi. "Moanaaaaaaaaaa... " jeritan kencang keluar dari mulutku.




















JANGAN LUPA VOTE N KOMEN ❤️❤️❤️










Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SORAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang