8. Tidak Cukup!

895 127 12
                                    

Mimi mengerutkan kening heran, melirik Nara yang dari pagi tadi, sampai mau pulang begini terus aja senyum-senyum sama layar handphonenya. Dibilang gila ya nggak, dibilang waras ya nggak nampak.

"Kenapa sih, Nek, dari tadi kayak orang gila?!"

"Coba liat, Refan manggil gue "istriku", Istriku, Mi!" dengan antusias Nara menyodorkan layar handphon yang hanya dilirik sekilas oleh Mimi. Kalau dibaca satu-satu ya mereka bisa sampai di Rumah Sakit perkara nubruk. Soalnya Mimi sedang menyetir mobil.

"Nanti malem dia mau ngajak gue dinner, tempat mana yang enak, ya?" lanjut Nara, kembali memainkan ponselnya.

"Udah berapa lama sih sejak kalian mutusin buat kencan?" tanya Mimi, memutar stir mobilnya untuk berbelok.

"Hm... hampir dua minggu kayaknya."

"Udah ada kemajuan apa aja?"

"Apa?" Nara coba memikirkan apa saja yang terjadi dua minggu belakangan. "Kami nonton, berjalan bergandengan, aku dikenalkan ke teman-temannya. Belakangan Mas Refan senang merangkul, kemudian mencium kepalaku..." di ujung kalimat, Nara memekik senang, mengekpresikan rasa menggelitik di perutnya yang sudah tidak bisa dia tahan.

Mimi hanya mengerutkan kening. "Nggak ada ciuman? Minimal kayak waktu di pesta gue gitu?"

Nara menggelang.

"Gila! Anak ABG sekarang aja pacarannya udah kemana-mana, sementara kalian udah nikah cuma kayak gitu doang? Nggak ngerti gue!"

"Dia nunggu gue siap katanya."

"Emang elu belum siap? Miss V lu belum cenat-cenut gitu kalau lagi deket sama laki lu yang sexy begitu? Kalau belum fix sih elu sakit! Mr. P gue aja bereaksi!"

Dengan cepat Nara memukul pundak Mimi gemas. "Itu sih elu yang sakit, Kampret!"

Mimi tertawa sambil mengaduh, megusap bekas pukulan Nara yang terasa panas juga. "Tapi serius, emang lu merasa cukup cuma dengan kencan begini aja?"

Nara diam, mencoba berpikir. Selama dua minggu, tidak ada yang Nara rasakan selain bahagia. Refan memperlakukannya dengan sangat baik dan perhatian. Sikapnya lembut dan melindungi, namun tidak mengekang. Nara masih bisa kemanapun dan melakukan apapun yang dia mau. Selama Nara senang dan tidak merugikan siapa-siapa, Refan tidak pernah melarangnya. Sikap yang benar-benar berbeda dengan Adnan, yang cara bernafas Nara pun diatur oleh lelaki itu.

Sampai beberapa saat yang lalu, Nara hanya merasa bahagia. Tapi setelah ditanya apa dia merasa cukup? Dia jadi bertanya-tanya juga. Kalau konteksnya suami dan istri tentu ini tidak cukup.

Mereka masih tidur di kamar yang berbeda. Nara ingin juga ketika malam berbaring di lengan kekar milik Refan. Berpelukan. Bercumbu. Dan yang lebih dia ingin adalah mengandung dan melahirkan anak-anak yang lucu. Sudah lama Nara mendambakan anak. Jauh sebelum dia menikah.

Memang omongan dan pertanyaan julid dari teman atau tetangga tuh sangat memengaruhi psikologis seseorang. Nara yang awalnya bahagia-bahagia saja, jadi merasa segalanya serba kurang.

"Nggak cukupkan, Nek? Elu pengen 'kan ngerasain ena-ena?" lanjut Mimi tatkala Nara masih diam saja.

"Udah deh, Mi! elu mah ngomonginnya begituan terus. Gue ngerti nih kenapa kadang-kadang otak gue tuh kotor. Ini nih... gara-gara bertemen sama elu!"

Mimi tertawa, "Itu meh emang otak lu aja kotor. Gue yang disalahin!"

"Nggak lah! Emang bahaya nih keseringan ngobrol sama lu!"

"Eh lu tau nggak? Sebenernya nafsu cewek itu lebih gede dari pada cowok. Cuma cewek lebih bisa aja nahannya."

"Terus kalau elu gimana? Elu cewek apa cowok?"

SUAMI IDAMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang