Nara menatap layar yang menampilkan kondisi rahimnya dari USG transvaginal. Tidak mengerti gambar hitam putih tersebut.“Sudah mendekati waktu menstruasi?” tanya dokter Titi.
“Iya, Dok. Harusnya empat hari lagi. Ini payudara juga udah nyeri dari beberapa hari.”
“Ini dinding rahimnya sudah menebal.” Di layar, dokter memberi tahu posisi penebalan yang dia maksud dengan kursor. “Biasanya memang karena mau menstruasi, atau sedang mempersiapkan kehamilan. Atau ada penyakit bawaan. Biar lebih jelas, hari kedua menstruasi bisa datang lagi untuk USG ulang.”
“Tapi sejauh ini semua terlihat normalkan, Dok?”
“Ukuran sel telur normal. Kalau rahim, seperti yang saya bilang tadi, ada penebalan. Bisa karena mau menstruasi atau persiapan kehamilan, atau ada penyakit. Hm… Oke…” Dokter Titi memberikan isyarat kepada asistennya jika dia sudah selesai.
Suter mengambil alih alat USG, dan Nara meringis ketika suster mengeluarkan alat tersebut dari dalam dirinya.
“Tolong cetak hasilnya ya, Sus.” Dokter Titi kembali menatap Nara. “Ibu pakai dulu celananya, nanti saya jelaskan di meja saya, ya.” Dokter keluar dan menutup kembali tirai untuk memberikan Nara ruang.
Setelah rapih, Nara duduk di hadapan dokter yang sedang mencoret-coret di buku resepnya.
“Ibu selama ini sudah minum multivitamin, atau asam folat, atau apa gitu suplement-suplement?”
Nara menggelangkan kepala. “Nggak, Dok.”
Setelah selesai menulis, Dokter Titi menatap Nara dengan kilatan ramah. “Saya rasa masih wajar kalau sekarang Ibu belum hamil. Normalnya sekitar satu tahunan, sementara Ibu menikah kurang lebih sebelas bulan, kan?”
Nara hanya menganggukan kepala sebagai jawaban.
“Jika sesuai jadwal, empat hari lagi Ibu menstruasi, dan dihari kedua menstruasi saya sarankan USG lagi untuk melihat penebalan dinding rahim tadi meluruh semua atau tidak. Dan kalau memang mau program, ajak suaminya, Bu, biar nanti sekalian kita periksa. Jadi kita tau tindakan selanjutnya bagaimana.”
“Oh, gitu. Jadi sekarang saya nunggu datang bulan dulu, ya, Dok, untuk pemeriksaan lebih lanjut?”
“Benar, Bu. Ada yang kurang jelas? Atau ada yang ingin ditanyakan lagi?”
Nara berpikir sejenak. “Sepertinya tidak ada.”“Baik, saya resepkan multivitamin dan asam folat, ya, Bu. Seandainya Ibu sudah hamil, keduanya baik untuk perkembangan janin. Nanti resepnya bisa diambil di susternya sekalian dijelaskan.”
“Baik, Dok. Terima kasih, Dok.” Nara bangkit dan berjalan keluar dari ruangan dokter dengan suster yang menjelaskan resep serta tata cara meminumnya, sebelum kertas resep tersebut diserahkan ke Nara.
Setelah menebus resepnya di apotek, Nara tidak tau lagi harus kemana. Dia belum ingin pulang, tapi tidak punya tujuan. Hanya dilangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit tanpa rencana.
Menghela nafas berat, Nara melihat sekeliling luar rumah sakit. Ada coffee shop tidak jauh dari situ, jadi Nara memutuskan untuk menghabiskan sedikit waktunya di sana dengan segelas latte hangat dan sepotong apple pie.
Pulang kerumah sudah tidak jadi waktu yang menyenangkan lagi. Apalagi sekarang, setelah ketegangan mereka di telpon tadi. Nara tidak tau harus bersikap bagaimana. Berbaik-baikan tidak mungkin karena hatinya masih kesal, tapi Nara sadar, jika dia terus marah-marah akan semakin menjauhkan suaminya.
Dia membuka ponsel, dan semakin kecewa. Bahkan lelaki itu tidak bertanya keadaannya. Sudut-sudut matanya memanas, tapi dia tidak mau menjadi pusat perhatian dengan menangis di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI IDAMAN
RomanceNara Aurelia menikah karena terpaksa. Demi hargadirinya yang sudah terlanjur terkoyak karena penghianatan pacar dengan temannya sendiri. Tapi siapa yang sangka, Refan Alfarezi adalah lelaki yang sempurna, yang bisa menerima masa lalu Nara yang hadir...