12. CEMBURU

625 123 31
                                    


Nara pikir, dengan mereka bertemu bersama, bisa menenagkan hatinya. Tapi nyatanya justru lebih meresahkan. Dia tidak tau kalau Refan sudah sedekat itu dengan Maureen.

Maureen anak yang manis. Cantik. Rambutnya hitam legam, lurus namun sedikit bergelombang di ujung. Pipinya putih, bulat. Celotehannya lucu sekali. Siapapun yang melihatnya pasti jatuh hati. Gemas. Termasuk Nara, jika saja tidak ada rasa lain yang menyelinap dan perlahan menguasai hatinya. Cemburu.

“Maureen mau emam, disuapin sama Papa, Sayang?” tanya Alya, dan anak dua tahun itu mengangguk jenaka.
Papa… rupanya Maureen sudah memanggil Refan dengan papa…

Alya menyerahkan tempat makan Maureen yang sepertinya sudah disiapkan dari rumah, dan Refan mengambilnya ragu-ragu, kemudian mulai menyuapi Maureen dengan kaku. Dan bocah itu menerimanya dengan riang.

Refan tersenyum senang ketika Maureen tersenyum, dan mau makan dari suapannya. Dan rasa tidak nyaman yang mulai menyakitkan itu semakin menjalar.

Nara tau mungkin sengaja Alya meminta Refan menyuapi Maureen agar lebih mendekatkan ayah dan anak itu, tapi Nara berharap suternya saja yang menyuapi. Dari pada hanya berdiri dan mengamati.

“Apakah Maureen benar-benar membutuhkan mobil dan sopir? Bukankah uangnya lebih baik kita tabung untuk biaya-biaya Maureen nanti. Seperti sekolah… atau yang lainnya.” tanya Nara mengalihkan pandangan dari Refan dan Maureen, menatap Alya.

“Fasilitas mobil Maureen pasti ditarik oleh Mas Dimas, sementara mobil punyaku sudah aku beri ke keluargaku. Kalau sopir, sepertinya lebih baik kalau Maureen memiliki sopir. Sudah lama aku tidak menyetir mobil, jadi sedikit khawatir. Masalah pendidikan, Maureen sudah punya asuransi, tinggal diteruskan saja.”

Baiklah, Nara sebenarnya tidak terlalu masalah selama Refan mampu. Rasanya cukup masuk akal alasan-alasan Alya. Tapi semua inikan jangka panjang, mereka harusnya memikirkannya lebih matang.

“Oh iya, aku lupa bilang, kami juga perlu tempat tinggal. Maksudku, rumahku tidak terlalu besar dan ada adikku yang down sindrome, jadi aku khawatir itu memengaruhi perkembangan Maureen jika kami tinggal di sana, setelah kami keluar dari rumah Mas Dimas.”

Nara tidak sadar mulutnya terbuka tidak percaya.

Jadi Refan harus membelikan rumah, mobil, menyewakan sopir, suster, membayar biaya-biaya Maureen. Ya, Refan memang ayahnya, tapi di mana peran Alya sebagai ibunya?

“Hm…” Nara tidak tau harus berkata apa. Bolehkah jika dia melontarkan keberatan?

“Tidak perlu beli jika Refan belum ada uangnya. Kami cukup dikontrakan.”

“Aku bisa memenuhi itu semua.” Ujar Refan yang justru membuat Nara lebih menganga lagi.

Oke, semua uang itu memang punya Refan. Refan juga sudah melaksanakan kewajibannya dengan memberi nafkah kepada Nara. Tapi tidak bisakah lelaki itu berdiskusi dulu dengan Nara sebagai istri lelaki itu?

“Terima kasih.” Tutur Alya sambil tersenyum, menatap Refan dengan tatapan yang membuat Nara enggan melihatnya. “Oh, Maureen udah kenyang, Sayang? Udah, Pa, Maureen sudah kenyang.”

“Oh sudah. Pantes udah nggak mau buka mulut.”

Alya memberikan tissue basah kepada Refan untuk mengelap bibir Maureen. Dan saat Refan membersikannya dengan cara yang salah menurut Alya, wanita itu mengambil lagi tisue dari tangan Refan.

“Nggak gitu, Papa… kayak gini…” pada akhirnya Alya yang mengelap bibir Maureen. Tapi bukan itu yang membuat Nara merasa jengah. Melainkan sikap Alya yang justru terlihat lebih manja dari pada Maureen. Dan lagi, Refan seperti tidak keberatan. Tidak memikirkan bagaimana perasaan Nara saat ini. Lelaki yang sebelumnya sangat peka, berubah dalam seketika.

SUAMI IDAMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang