Lucunya ...
luka terhebat, selalu datang dari orang-orang terdekat.♧♧♧
Kata orang, jika kita mencari kebahagian, maka bumi bukan tempatnya. Karena di bumi, duka gemar sekali bersahabat dengan suka cita. Apalagi bagi orang seperti Haraga, bumi lebih menyeramkan dari pada hal itu. Ditinggal mati kedua orang tuanya, bahkan di saat ia belum lancar menaiki sepeda. Dijauhi oleh teman-temen sebayanya, hanya karena status sosial yang ia miliki dipandang sangat rendah, dan yang paling membuat sesak adalah dituduh sebagai penanggung jawab sebuah kesalahan yang bahkan tak pernah Haraga lakukan.
Lantas masih pantaskah bumi dijadikan tempat tinggal, jika rasa-rasanya bernapas saja sudah menjadi dosa besar bagi Haraga.
Haraga sudah cukup muak berpura-pura menerima situasi menyebalkan yang berisi sebuah keharusan untuk menormalisasi rasa sakit. Di mana, bagi mayoritas orang, hal tersebut hanyalah sebuah candaan yang perlu ditertawakan. Lantas dari berbagai rangakaian rasa sakit itulah terbesit sebuah pertanyaan, 'Apa mereka tidak pernah berpikir soal porsi seseorang untuk menerima luka?'
Namun demikian, memang seperti inilah kehidupan berjalan. Protes pun tidak akan merubah apa-apa. Orang-orang hanya mampu berteriak saling mememaki, seolah menghakimi segala perilaku yang diperbuatnya adalah kewajiban dalam rutinitas setiap hari.
Tidak adil? Benar. Bahkan sangat jauh dari kata keadilan. Meski mati-matian Haraga mencoba keluar dari belenggu yang ada, pada akhirnya orang lain akan berbondong-bondong untuk memusnahkan usahanya dengan segala cara.
Entah sudah diulang ke berapa kali, tetapi lagu yang terputar dari ponsel di atas nakas kamarnya itu masih saja betah menemani. Tangannya sibuk menerbangkan beberapa pesawat kertas yang ia buat sendiri, sambil meresapi makna di balik lirik lagu berjudul Evaluasi.
Tiap pesawat yang ia terbangkan jatuh ke lantai, pundak Haraga seperti lebih berat dari pada sebelumnya. Ia merasa pesawat-pesawat itu layaknya harapan yang selama ini ia simpan, lantas ketika melihatnya jatuh, tentu saja ikut membuat Haraga semakin sendu.
Sebenarnya ada hal lain yang mengusik pikiran Haraga sedari tadi. Tentang ingatan pada berbagai kejadian yang tentunya menambah beribu-ribu rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Semua itu semakin lama, semakin menggerogoti jiwa kesepian dalam diri seorang Haraga Adrian.
Seperti tuduhan yang lagi-lagi terucap dari mulut kakeknya semalam. Mengingatnya, membuat Haraga kian hancur dan berantakan. Orang yang paling ia sayangi, malah selalu menyudutkan dirinya pada kesalahan yang sudah berulang kali dijelaskan, bukan Haragalah pelaku di balik itu semua.
'Namun, siapa yang hendak peduli?'
Kakeknya tetap teguh pada pendirian. Perdebatan yang pada akhirnya, selalu berujung pada kekalahan Haraga dan pukulan di beberapa bagian tubuhnya hingga membuat ia membolos sekolah, seperti halnya hari ini.
♧♧♧
Missing part :
Haraga meringis kesakitan, saat tubuhnya terbanting kencang ke lantai oleh asisten pribadi kakeknya sendiri.
Sedangkan Jafier, pria tua itu nampak menikmati pemandangan orang suruhannya yang memukuli Haraga.
"Kau pantas dapat itu, Haraga."
Tidak ada perlawanan dari Haraga, bahkan hingga Jafier merasa puas, Haraga hanya menatap sendu kakeknya tersebut. Setelah selesai, dirinya ditinggalkan dengn tubuh yang sudah terkapar lemah dan terdapat banyak luka.
Sebelum akhirnya benar-benar pergi, Jafier menoleh dan berkata, "Kau yang seharusnya mati, bukan Jonathan anakku."
"Maaf," lirih Haraga seraya menahan rasa sakit.
Beberapa detik kemudian, perut Haraga terasa mual, ia terbatuk-batuk hingga memuntahkan darah. Tubuhnya sudah benar-benar tidak berdaya, begitu pula dengan pandangannya yang makin lama makin memburam.
"Aku harap, kau bisa segera menyusul ibumu ke alam baka," ujar Jafier, lalu pergi begitu saja.
Hening juga sepi. Terdengar tangis pilu kala Haraga menahan nyeri, dengan sesekali kata maaf turut keluar dari mulut yang kedua sudutnya sudah lebam itu.
Mata Haraga kini terpejam, tak kuasa menahan kesedihan mendalam yang ia rasakan. Belum lagi kerinduannya pada sang ayah dan bunda yang ia harap, sudah tenang di surga sana.
Berulang kali dirinya menyusun kata untuk menjelaskan semuanya, tetapi yang terjadi adalah Haraga tak punya kuasa untuk bersuara.
"Harusnya emang Raga yang mati, bukan ayah. Harusnya Raga yang susul bunda, kenapa harus ayah? Harusnya ...." Haraga merancu, sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
To be continue
Feedbacks are appreciated, please let me know your reaction when you read this fiction. SO, DON'T FORGET TO VOTMENT!

KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS : HARAGA
Teen FictionTidak boleh ada sedikit pun kecacatan. Apapun yang diperintahkan kakeknya, harus dilakukan secara sempurna. Sekalipun Haraga harus mengorbankan dirinya sendiri. Lantas dari banyaknya hal yang dilewati, apakah pada akhirnya semua ini akan membawa Ha...