Rezeki tak selalu berbentuk uang.
Keberadaan Orang-orang yang menyayangimu pun, adalah salah satu bentuk kasih sayang dari Tuhan.♧♧♧
Setelah penjelasan panjang yang dipaparkan Haraga, baik Jeano maupun Nayaksa, pada akhirnya pun mengerti serumit apa permasalahan hidup yang kini sahabatnya itu tengah hadapi. Namun, keduanya tidak gentar dan menolak menuruti permintaan Haraga untuk menjaga jarak. Mereka justru bersikeras untuk membantu menjaga Haraga dari ancaman pelaku penusukan yang tengah mengintainya.
"Gak bisa, Je. Lo sama Nana gak bisa bantuin gue, kalian harus tetep aman," ungkap Haraga.
Jeano menggelengkan kepala, untuk kesekian kalinya ia tetap ingin membantu, "Kagak mau, gue bisa jaga diri gue. Kalo lo mau nyuruh Yaksa doang buat kagak ikutan, gue baru setuju!"
"Dih, kok gitu!" Nayaksa mendelik, "kagak, ya. Aku tetep mau ikutan jagain kamu meskipun dilarang!" ungkapnya penuh penekanan.
Haraga memijat pangkal hidungnya, ia tahu bahwa respon kakak-beradik itu pasti akan menolak rencananya. Mereka juga pasti sangat kesal karena merasa selalu tidak dilibatkan.
Mie yang Haraga masak dalam panci listrik, kini sudah matang. Dengan hati-hati ia memindahkannya dan membaginya menjadi tiga piring. Tak ada percakapan, Haraga masih sibuk berpikir untuk menyusun kata untuk memberikan pengertian pada sahabat kembarnya tersebut.
Lain dengan Jeano, sejujurnya ia cukup tertekan dengan tatapan sinis Kamal yang tampak memerhatikannya dari celah jendela. Keberadaan si pemilik kamar kost tersebut yang kini sedang mengobrol di depan teras bersama Miang, membuat Jeano was-was karena seperti diawasi.
"Ga, ini kita beneran gak papa main di sini? Bang Kamal kok keknya gak suka, ya, sama gue," bisik Jeano yang sudah tidak tahan.
Haraga pun langsung menoleh ke arah jendela, dan benar saja. Di sana ia mendapati Kamal yang menatap sinis ke arah mereka, tetapi dari pada seram, bagi Haraga malah tampak "orang nahan berak" begitu pikirnya.
"Biarin aja, dia emang gitu. Gak jelas," jawab Haraga tak mau ambil pusing, "Na, tolong aduk mie-nya, ya."
Menganggukkan kepala, Nayaksa pun mengaduk ketiga mie tersebut secara bergantian. Setelah itu, masing-masing dari mereka pun mengambilnya untuk dinikmati.
"Ga, pokoknya selama di sekolah, gue bakal tetep jagain lo!" ungkap Jeano di tengah-tengah kegiatan makannya.
Nayaksa pun demikian, ia menganggukkan kepala dengan mulut yang penuh dan kesulitan mengunyah. Hal tersebut pun langsung membuat Haraga menyodorkan air putih kepada Nayaksa, agar dapat memudahkannya menelan makanan.
"Gue cuma gak mau kalian kenapa-kenapa, jadi tolong pikirin lagi keputusan lo. Gue gak bisa ngejamin kalian bakal selamat atau justru mati duluan sebelum gue bisa nyelamatin kalian. Semuanya tabu, Je. Kita gak bisa gegabah gitu aja," kata Haraga mencoba kembali memberi peringatan.
Akan tetapi, Jeano tetaplah orang yang keras kepala. Ia tetap menggelengkan kepalanya dan menolak untuk membantu Haraga kali ini. "Terserah, Ga. Gue lebih baik tetep bantuin lo, dibandingkan cuma ngeliat lo berjuang sendirian terus."
"Ga, mungkin kita keliatannya maksain kamu, tapi semua ini karena kita juga sayang sama kamu. Kita saling jaga, kalau kami jagain kamu, kamu pun bisa jagain kami dengan rasa percaya kamu," ujar Nayaksa yang membuat Haraga termenung.
"Tapi gimana kalau kalian kena-"
"Kita semua bakal baik-baik aja, percaya deh. Kita di sini punya kita, iya kan?" Jeano mengulurkan tangannya ke depan, memberi isyarat agar mereka semua mau saling adu kepalan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS : HARAGA
Teen FictionTidak boleh ada sedikit pun kecacatan. Apapun yang diperintahkan kakeknya, harus dilakukan secara sempurna. Sekalipun Haraga harus mengorbankan dirinya sendiri. Lantas dari banyaknya hal yang dilewati, apakah pada akhirnya semua ini akan membawa Ha...