29 : Target Terkunci

81 10 0
                                    

Sepulang dari rumah sakit, Haraga berusaha menenangkan pikirannya. Sedangkan Miang, ia langsung memilih pergi dan mencoba melakukan hal serupa. Keduanya kini harus bisa saling mempercayai, sekalipun rasa takut itu tetap membayangi. Meskipun mereka sendiri tahu, bahwa ucapan satu sama lain sebelum berpisah tadi, hanyalah kalimat penenang. Baik Haraga maupun Miang, sejatinya tak bisa bersikap tenang untuk menjalankan rencana milik Yuda.

Melihat wajah muram Haraga, Kamal yang juga baru saja selesai mandi, menghela napasnya. Ia pun duduk di samping Haraga, sambil mengeringkan rambut yang baru saja selesai ia keramas.

"Besok-besok kalau tiap pulang ke sini lo sedih mulu, tidur di teras ajalah," ketus Kamal yang langsung menarik perhatian Haraga.

Mendengar itu, Haraga berdecak kesal. "Minimal tanya dulu gue kenapa gitu, Bang," keluhnya.

Lantas setelah rambutnya sudah cukup kering, Kamal pun melemparkan handuk yang ia pakai, ke atas nakas hingga membuat kotak tisu di atasnya tertutupi. Kamal kini merangkul pundak Haraga, hingga sang empu meringis karena tangan Kamal mencengkram cukup kuat.

"Ya, udah. Gue tanya, nih. Lo sekarang kenapa? Digebukin asisten kakek lo lagi? Apa gak dikasih duit jajan ama Mas Adhi?" tanya Kamal mencoba menebak-nebak.

"Gak usah kekencengan napa, Bang." Haraga beranjak dan melepaskan diri dari rangkulan Kamal, diikuti oleh kekehan yang lebih tua karena tingkah jahilnya sudah berhasil, "dan tebakan lo barusan, salah semua."

"Oke-oke, maaf." Kemudian Kamal menarik meja lipat yang ada di dekat lemari, ia juga mengambil kotak di laci nakas. Kemudia menepuk-nepuk tempat di sampingnya supaya Haraga kembali duduk, "nih, sini."

Tak banyak membantah, Haraga pun menuruti apa kata Kamal. Ia memperhatikan Kamal membuka kotak kartu uno yang kini isinya telah dikeluarkan dan berjejer di hadapan keduanya.

"Ceritain ke gue barusan di rumah sakit ngapain aja, terus lo kenapa sampe sedih gitu?" ujar Kamal seraya mengocok segepok kartu uno di tangannya.

Masih tidak paham dengan tingkah laku Kamal, Haraga lagi-lagi hanya bisa menurut pada perintah lelaki itu. Sebelum akhirnya memulai pembicaraan, Kamal memberikan dua tumpuk kartu yang masing-masing berisi tujuh kartu uno dengan posisi telungkup.

"Ini maksudnya sambil cerita, sambil main juga?" tanya Haraga keheranan.

Kamal mengangguk. Lantas, Haraga pun memilih salah satu tumpukan kartu tersebut dan satu lagi ditarik oleh Kamal. Sisa kartu yang tidak dipilih, dibiarkan terbalik untuk nantinya dijadikan kartu pemasang.

Kini Kamal mulai merapikan kartu miliknya yang sengaja tak diperlihatkan pada Haraga. "Biar have fun, Ga."

Terkekeh geli, Haraga pun pada akhirnya ikut menyiapkan kartu seperti yang dilakukan oleh Kamal. Ia mencoba menyusun strategi, sembari bersiap menceritakan apa yang ia alami di rumah sakit tadi.

Mengambil satu kartu sebagai pembuka permainan, warna hijau dengan angka delapan pun menjadi kartu pertama untuk nantinya dipasangkan dengan kartu milik mereka.

Tangan Kamal terulur, ia memberi kode pada Haraga untuk melakukan adu suit sebagai penentu siapa yang bermain terlebih dahulu. Lantas setelah keduanya melakukan itu, didapatlah Haraga sebagai pemenangnya. Menandakan ia harus mengeluarkan kartu pertama yang cocok dengan kartu buangan tadi.

Permainan pun kini benar-benar dimulai, Haraga sudah mengeluarkan kartu miliknya yang cocok dengan kartu buangan pertama. Bersamaan dengan itu, ia juga mulai menjelaskan, "Tadi keadaan Kakek udah membaik dan beliau udah dipindahin dari ICU ke ruang rawat inaf intensif."

"Alhamdulillah, terus-terus?" tanya Kamal seraya mengeluarkan kartu miliknya untuk melanjutkan permainan.

Pandangan Haraga terfokus, memilih kartu yang harus ia keluarkan. "Abis itu Om Yuda, asistennya Kakek bilang sesuatu ke gue sama Mas Adhi."

PESAWAT KERTAS : HARAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang