Memegangi kepalanya yang masih terasa pusing, dengan sisa tenaga Haraga pun mencoba berdiri. Meski sangat kesulitan, ia tetap berusaha membawa tubuhnya untuk berpindah tempat. Bekas noda darah, tampak sudah mengering di seragam putih yang ia kenakan. Melirik arloji di pergelangan tangan kiri, setidaknya sudah hampir satu jam Haraga tak sadarkan diri dan tergeletak mengenaskan di sana.
Haraga pergi ke kamar mandi yang berada di gedung olahraga, ia berniat untuk mencuci bekas kekacauan di tubuhnya. Dingin air mulai membasahi wajah yang dipenuhi lebam itu, membuatnya sesekali meringis karena rasa perih yang tak bisa dihindarkan.
Setelah membuka seragam sekolahnya, Haraga mulai mencuci bekas darah yang mulai membandel. Terbukti dengan berkali-kali dikucek, malah tangannya yang terasa pegal. Sedangkan noda tersebut tidaklah hilang, hanya memudar itu pun sedikit sekali.
Menatap bayang diri di cermin, perlahan Haraga menangis. Ia meratapi sekujur tubuh kurusnya yang dipenuhi bekas luka. Tangannya menyentuh luka-luka tersebut, membuat rasa sakit dan perih turut menjalar seketika.
Haraga marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Karena sampai saat ini, ia tak sanggup melawan orang-orang yang selalu menyakiti dirinya. Di sisi lain, ia juga jadi tersadar bahwa dirinya hanya mampu bersembunyi di bayang-bayang mereka yang selalu berusaha melindunginya. Seperti Jeano dan Nayaksa, atau Miang yang sangat menunjukkan rasa kepedulian pada Haraga.
Lantas walau sudah sejauh itu, Haraga tetap belum bisa melindungi dirinya sendiri. Wajar sekali jika banyak orang yang menyebutnya sebagai seorang pecundang. Haraga jadi berpikir kalau kerja keras saja memang tak akan cukup, seharusnya ia bisa lebih dari itu. Ia pun berteriak frustrasi, tangannya memukul wastafel berkali-kali, hingga membuat buku-buku tangannya jadi memerah.
Tak berselang lama, bel pulang sekolah terdengar sangat kencang. Haraga pun mulai mengatur emosinya, ia menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan amarahnya yang sempat memuncak.
Setelahnya ia merogoh ponsel dari saku celana, Haraga pun mendengkus kesal ketika melihat kalau layar ponsel tersebut tampak retak. Sepertinya hal itu disebabkan oleh benturan keras ketika ia dirundung oleh Yohan dan kawan-kawannya.
Jemari Haraga mulai mengetikkan sesuatu di ponsel tersebut, usai mengirimkan pesan pada orang yang ditujunya, benda pipih itu pun kembali ia masukkan ke dalam saku.
Selanjutnya, meski seragam yang ia miliki kini basah kuyup, Haraga memustukan untuk tetap memakainya. Setelah selesai membersihkan diri, ia pun beranjak untuk mengambil tasnya di kelas dan segera pergi dari sekolah yang lebih mirip dengan neraka itu.
Tanpa diberi tahu siapapun, Haraga juga sudah hapal saat dirinya kembali ke kelas setelah ini, keadaan tidak akan berubah. Tak akan ada teman yang menunggu dan mengkhawatirkannya, atau lebih parah lagi kursi dan tas yang ia tinggalkan di sana sudah habis dijadikan mainan oleh bajingan-bajingan yang merundungnya.
♧♧♧
Miang mengernyit heran, baru saja ia berniat untuk pergi ke basement kantor dan menjemput Haraga di sekolah, pesan dari adiknya itu membuat niat tersebut urung.
Padahal tadi pagi tak ada percakapan Haraga yang meminta izin untuk main ke luar. Namun, secara tiba-tiba anak itu malah bilang kalau sekarang dirinya akan menginap di kostan Kamal.
Saat hendak melakukan panggilan telpon, sapaan rekan kerjanya pun menghentikan aksi Miang. Ia pun terlibat percakapan yang pada akhirnya membuat Miang lupa untuk menelpon Haraga.
♧♧♧
Menghiraukan tatapan orang-orang pada dirinya, Haraga melangkah gontai menuju kostan Kamal. Ponselnya sengaja ia matikan, agar Miang atau kedua sahabat kembarnya tak bisa menghubungi dirinya untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS : HARAGA
Ficção AdolescenteTidak boleh ada sedikit pun kecacatan. Apapun yang diperintahkan kakeknya, harus dilakukan secara sempurna. Sekalipun Haraga harus mengorbankan dirinya sendiri. Lantas dari banyaknya hal yang dilewati, apakah pada akhirnya semua ini akan membawa Ha...