Dua hari semenjak pertemuan terakhirnya dengan Miang, Haraga terus merenung sendirian. Sampai sekarang, ia masih belum bisa memberi keputusan apapun terhadap rencana kakaknya tersebut.
Percakapannya dengan Miang berulang kali terputar dalam benak Haraga, tentang bagaimana semua kebenaran itu, terungkap begitu saja dan membuat dirinya menjadi semakin terpukul.
Hatinya masih belum bisa menerima, ada ketidakrelaan jika ia harus mengikuti apa yang dikatakan oleh Miang. Meskipun memang demi kebaikannya sendiri, tetapi meninggalkan Jafier adalah suatu keputusan paling sulit untuk ia turuti.
♧♧♧
"Sebenarnya, saat Bunda masih ada, kita sering bertemu. Ayah selalu mengantarkan mas untuk menginap di rumah Om Jonathan tiap akhir pekan. Namun, setelah Bunda meninggal, Om Jonathan membawa kamu pergi. Kamu sendiri yang meninggalakan mas."
Menundukkan kepalanya, kini ada kesenduan dalam diri Miang ketika menatap mata adiknya itu. "Mas sangat terpukul karena kehilangan kamu dan Bunda di waktu yang bersamaan."
Seolah kembali ke masa lalu, Haraga juga jadi terdiam. Ia ingat bahwa dulu Ayah tirinya--Jonathan, memang membawanya pindah dan tinggal satu atap bersama Jafier setelah sang bunda tiada.
"Dua tahun mas dan Ayah selalu berusaha mencari keberadaan kamu, sampai akhirnya mas juga kehilangan ayah."
Seolah napasnya tercekat, Haraga makin terkejut mendengar hal itu. "Maksud Mas, Ayah udah ...?"
Melihat anggukan kepala dari Miang, Haraga mengusap wajahnya kasar. Fakta tersebut sangat menyakiti dirinya, ia bahkan tak pernah tahu bagaimana rupa ayah kandungnya tersebut. Namun, ternyata takdir sudah lebih dulu membawa sosok itu pergi.
"Ayah meninggal karena serangan jantung. Saat itu mas masih menjadi murid SMP, mas kebingungan karena tidak punya siapapun lagi. Orang tua kita sama-sama sebatang kara dan gak ada satupun saudara yang mereka punya." Dengan sekuat tenaga, Miang menenangkan dirinya agar tak hilang kendali karena mengingat memori buruk itu.
Sedangkan Haraga, ia kini menatap iba sosok yang ternyata adalah kakak kandungnya tersebut. Ia tak menyangka jika Miang juga menjalani kehidupan yang sama beratnya.
"Mas sempat kebingungan untuk lanjutin hidup, tapi di situ mas ingat kalau masih ada kamu. Sekitar enam bulan mas jalanin semuanya sendirian, Om Jonathan pun datang. Namun, waktu itu beliau datang bersama Tuan Jafier." Tatapan kosong Miang, mengisyaratkan bagaimana jauhnya ia menerawang ingatan yang sudah lama dipendamnya.
Sepuluh tahun yang lalu, saat itu Miang merasa dirinya bermimpi, akhirnya ia dapat melihat Om Jo-nya kembali setelah sekian lama. Datang dengan beberapa pria asing berjas hitam, empat mobil mewah pun terparkir di halaman rumah tersebut.
Terhitung dua tahun pasca Miang kehilangan komunikasi dengan Jonathan, ia jadi begitu senang karena bisa bertemu sosok tersebut lagi. Akan tetapi, kesenangan itu rupanya tak bertahan lama. Ketika rentangan tangannya tak dibalas, bahkan diabaikan begitu saja oleh Jonathan.
'Lho, Om Jo kenapa?' tanya Miang membatin.
Jonathan hanya memandanginya dalam diam, lantas menoleh ke arah pria yang lebih tua yang tak lain adalah Jafier.
"Jadi, ini anak tirimu yang pertama, Jo?" tanya Jafier.
Lagi-lagi tak ada kata yang terucap, selain anggukan kepala dari Jonathan.
Lantas setelah itu, Jafier menoleh ke arah pria-pria berjas hitam yang sedari tadi hanya diam mengawasi. Ia pun memerintahkan mereka untuk membawa Miang secara paksa menuju mobil, membuat remaja laki-laki itu berontak meminta penjelasan. Namun, sampai Miang dipukul hingga pingsan pun, Jonathan tak menggubrisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS : HARAGA
Genç KurguTidak boleh ada sedikit pun kecacatan. Apapun yang diperintahkan kakeknya, harus dilakukan secara sempurna. Sekalipun Haraga harus mengorbankan dirinya sendiri. Lantas dari banyaknya hal yang dilewati, apakah pada akhirnya semua ini akan membawa Ha...