Seperti kata Aisha, Allah tidak akan pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan umatnya.
Itulah satu hal yang menjadi pegangan Samudra saat ini.
Cobaan yang dia alami saat ini memang berat, tapi dia masih diberi akal untuk berpikir dan diberi kemampuan untuk berusaha.
Berusaha mencari uang untuk membayar biaya rumah sakit yang jelas tidak sedikit.
Pagi itu, setelah mendapat penanganan serius di IGD, Aisya masih diharuskan menjalani rawat inap karena keadaannya yang semakin memburuk.
Tumor di rahimnya sudah semakin membesar, itulah yang menyebabkan Aisha kini mengalami pendarahan meski hal tersebut tidak fatal karena lekas mendapat penanganan.
Hanya saja, tim medis mengatakan, bahwa Aisha harus segera melakukan Operasi untuk mengangkat tumor, termasuk melakukan persalinan prematur, karena jika dibiarkan dan sampai tumor tersebut pecah di dalam rahim, maka nyawa Aisha dan nyawa sang janin tidak akan bisa diselamatkan.
Mungkin, jika Samudra memiliki uang, dia tidak akan berpikir lama untuk menyetujui saran dokter tersebut. Sayangnya, Samudra tidak memiliki uang, sementara Dokter mengatakan proses operasi baru bisa dilakukan setelah Samudra membayar setidaknya separuh dari biaya operasi terlebih dahulu.
"Baik Dok, saya akan usahakan membayar biaya tersebut secepatnya," ucap Samudra sebelum dia pamit dari ruangan Dokter yang kini menangani Aisha.
Samudra keluar dengan wajah kusut. Menutup pintu ruangan itu perlahan dan berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang rawat Aisha.
Dilihatnya Aisha masih tertidur, sepertinya efek obat biusnya masih belum hilang.
Perlahan, Samudra duduk di kursi lipat yang disediakan pihak rumah sakit di sisi brankar Aisha. Menggenggam jemari Aisha lembut.
Genangan air mata yang sejak tadi sudah membendung di kelopak mata Samudra seketika terjatuh. Menetes bergantian.
"Aku tinggal sebentar ya Aisha, nanti aku minta tolong Mbak Santi buat temenin kamu dulu di sini," ucap Samudra pelan.
Setelah menghubungi Santi dan Santi tiba di rumah sakit untuk menggantikannya menjaga Aisha, Samudra pun berpamitan pada Santi dan menitipkan Aisha pada tetangganya itu.
Di sepanjang perjalanan keluar dari rumah sakit, Samudra terus berpikir.
Pikiran lelaki itu bercabang karena dilema.
Sempat terbersit ide untuk meminta bantuan dana dari keluarganya, hanya saja, Samudra tak memiliki cukup keberanian untuk melakukan hal itu.
Sadar bahwa dia sudah melakukan kesalahan, tak mungkin dia kini harus kembali hanya untuk meminta bantuan?
Bahkan sejak dirinya keluar dari kediaman orang tuanya, tak ada satu pun pihak keluarga yang menghubunginya meski sekadar bertanya kabar.
Tidak ibunya, tidak juga ketiga adiknya.
Apalagi Papanya?
Cih, sudah pasti tidak akan mungkin.
Samudra memang tidak tahu apa yang terjadi di kediamannya semenjak dia pergi meninggalkan rumah, karena semenjak itu juga dia benar-benar putus komunikasi dengan seluruh anggota keluarganya.
Bahkan, saat Samudra mencoba untuk menghubungi nomor ponsel Talia, Ibundanya, ternyata nomor tersebut sudah tidak aktif.
Merasakan kepalanya yang tiba-tiba berdenyut hebat, Samudra mencari tempat untuk duduk.
Jika dia mencari pekerjaan, tentu akan membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan uang.
Jika dia harus meminjam pada rentenir, dia khawatir kejadiannya akan seperti yang dialami Santi dan Hendrik yang kini harus mengembalikan uang pinjaman itu berkali-kali lipat dengan dalih bunga yang terus bertambah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTERI KEMATIAN ISTRIKU (End)
RomanceNamaku Samudra. Aku seorang mantan narapidana. Dua bulan yang lalu aku bebas dari penjara dan kini bekerja serabutan di pasar ikan dekat pelabuhan. Banyak yang berpikir, bahwa aku itu bisu, karena aku hampir tak pernah bicara, kecuali ada yang menga...