6. NAPI ATAS NAMA SAMUDRA

96 19 3
                                    

Satu minggu berlalu sejak hari di mana Samudra ditangkap polisi atas tuduhan pencurian, Samudra tak sama sekali diizinkan keluar dari sel tahanan meski dia sudah berkali-kali memohon, menghiba hingga membuat onar dengan menjerit-jerit seperti orang gila, tetap saja, tak ada yang memperdulikannya.

Frustasi, Samudra sampai tega melukai salah satu teman satu selnya dan menjadikannya tawanan, sebagai alat ancaman agar para polisi itu bersedia melepaskannya. Sebuah tali yang dia dapatkan dari tempat sampah, dia gunakan untuk mencekik leher salah satu napi itu, meski pada akhirnya, Samudra justru harus menerima hukuman di ruangan isolasi yang pengap dan berbau.

Di dalam ruangan isolasi itu, Samudra yang sudah putus asa hanya bisa menangis. Bahkan dia sempat menyalahkan Tuhan atas takdir dan penderitaan yang harus dia lalui saat ini.

Samudra sama sekali tak memperdulikan dirinya, karena sejauh ini, yang ada dalam pikiran Samudra hanyalah, bagaimana kondisi Aisha sekarang.

Itu saja.

"Ya Allah... Jika memang Engkau benar-benar ada, tunjukkan kuasamu pada hamba! Selamatkan Aisha Ya Allah... Selamatkan Aisha... Lindungi dia..." Ucap Samudra yang terus larut dalam keputusasaan.

Merasa lelah menangis, bahkan setelah dia menjadikan dinding pengap itu sasaran emosinya, hingga membuat buku-buku jemarinya memerah dan luka, Samudra kini tertidur meringkuk di atas lantai tanpa alas, tanpa bantal, tanpa selimut, ditemani beberapa serangga melata yang sedang mencari sarang dan makanan.

Air mata yang tadinya sudah mengering, kini kembali membasahi pelipisnya.

Lelaki itu menangis dalam diam.

Tanpa adanya isakan.

*****

"Napi atas nama Samudra? Ada yang mau bertemu," panggil seorang laki-laki berkumis tipis, berseragam kepolisian yang terlihat mulai membuka sebuah pintu sel di mana Samudra ditahan.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi berkulit putih terlihat berdiri saat mendengar namanya disebut.

Dia berjalan keluar sel diikuti oleh dua orang penjaga lapas yang mengawalnya di belakang. Dia berjalan ke arah sebuah ruangan khusus untuk membesuk napi di lapas tersebut.

Ini kali pertama semenjak dirinya ditahan ada orang yang datang untuk membesuknya. Bahkan, pihak keluarganya sendiri pun seolah sudah membuangnya. Tak ada yang perduli. Tak ada!

Kedua bola mata Samudra seketika berbinar mendapati siapa orang yang datang membesuknya hari ini.

Dia, Santi.

Langkah pemuda itu pun terlihat lebih cepat. Meski hatinya semakin dilanda kekhawatiran berlebih.

"Sam..." ucap Santi lirih yang langsung berdiri menyambut kedatangan Samudra. Satu bulir air mata wanita itu menetes di pipi saat sepasang netranya melihat keadaan Samudra yang bisa dibilang cukup kacau.

"Mbak Santi? Bagaimana keadaan Aisha, Mbak?" tanya Samudra dengan suara yang terdengar serak. Lelaki itu menyentuh kedua bahu Santi, sedikit mengguncang.

Sementara Samudra menunggu jawabannya, tangisan Santi justru semakin merebak, dan hal itu justru membuat Samudra semakin panik.

"Mbak! Jawab pertanyaan saya, Mbak! Aisha baik-baik sajakan?" Guncangan tangan Samudra di kedua bahu Santi semakin mengencang, seiring dengan hawa panas yang menyerbu kelopak matanya.

Santi menyeka air matanya sebelum akhirnya dia pun bicara.

"A-Aisha... Aisha meninggal, Sam... Maaf..."

Kedua tangan Samudra yang tadinya memegang bahu Santi seketika luruh, terjatuh di kedua sisi tubuhnya.

Tatapan lelaki itu kosong tak tentu arah.

Ya Allah... Istriku...

Bisik batin Samudra, pilu.

Tak ada isakan, namun buliran kristal bening dari kelopak mata lelaki itu pun terlihat mengalir keluar. Merembes, membasahi kedua pipinya.

Seolah tak memiliki tenaga untuk menopang berat tubuhnya, Samudra jatuh terduduk, bersimpuh di lantai.

Masih dengan tatapannya yang kosong.

Ini semua salahnya.

Sebagai seorang suami Samudra tak bisa memenuhi kebutuhan hidup istrinya selama ini.

Kehidupan mereka yang serba berkekurangan membuat Aisha hidup dalam kesengsaraan. Bahkan kini Samudra tak mampu menyelamatkan Aisha dari penyakitnya itu. Bukan hanya Aisha yang pergi, tapi janin yang dikandung Aisha pun ikut pergi dengan sang Ibu.

Meninggalkan Samudra seorang diri di dunia yang kejam ini.

Seandainya saja, hari itu dia bisa lebih cepat tiba di rumah sakit sebelum kedatangan para polisi itu, mungkin saat ini Aisha sudah dioperasi dan selamat.

Sayangnya, semua itu kini tinggalah harapan yang pupus.

Aisha sudah meninggal.

Dan Samudra kehilangan semua hal indah dalam hidupnya saat ini.

Selama ini, hanya Aisha satu-satunya alasan yang menjadikan seorang Samudra yang dingin bisa tersenyum, tapi kini, Aisha sudah tidak ada.

Lantas, tak ada lagi alasan bagi Samudra untuk bisa tersenyum.

Seandainya pun Samudra bisa tersenyum suatu hari nanti, pasti saat itu dirinya sudah gila!

*****

Sejak hari di mana Santi memberitahukan mengenai berita meninggalnya Aisha pada Samudra, sejak itu pula Samudra menolak siapapun yang datang menemuinya ke lapas terlebih jika itu adalah keluarganya.

Bahkan saat Gara datang untuk menebus dirinya dan mencabut laporan Adipati atas diri Samudra, lelaki itu tak sama sekali bereaksi di dalam penjara.

"Saya sudah mengatakan pada Samudra bahwa dia bebas hari ini, tapi dia hanya diam di tempatnya, Pak Gara. Tidak sama sekali bereaksi. Di dalam sel tahanan itu, tak ada satu pun napi yang berani mengusik Samudra karena keterdiamannya itu. Samudra hanya akan bergerak saat waktu Shalat dan waktu makan tiba. Selebihnya, dia akan kembali ke pojok sel tahanannya dan berdiam diri di sana. Seperti itu saja setiap harinya," jelas sang sipir penjara pada Gara.

"Yasudah, baiklah kalau begitu. Saya akan beritahukan hal ini pada Tuan Adipati. Ini ada uang, tolong berikan Samudra fasilitas yang lebih baik di sini jika dia memang menginginkannya," ucap Gara seraya memberikan segepok uang pada Sipir penjara tersebut.

"Baik, Pak. Sampaikan terima kasih saya pada Tuan Adipati atas uang yang dia berikan sebelum ini."

"Baik, tidak masalah. Terpenting, keadaan Samudra di sini baik-baik saja,"

Gara pun pergi dari lapas setelah menyelesaikan tugasnya.

Merasa begitu prihatin atas apa yang dialami Samudra sejauh ini, meski dia tak sama sekali memiliki nyali untuk melakukan sesuatu karena memang Gara bekerja untuk Adipati selama ini. Jadilah, apapun perintah Adipati, Gara akan melaksanakannya, sebagai bentuk pengabdian dan kesetiaannya pada sang majikan.

Hanya saja, satu hal yang tak bisa Gara lakukan setelahnya adalah untuk benar-benar membunuh Aisha seperti halnya yang ditelah diperintahkan Adipati padanya.

*****

Jangan Lupa Vote dan komennya kalau suka...

Salam Herofah 😘🙏

MISTERI KEMATIAN ISTRIKU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang