03

776 195 50
                                    

"Saat pesta nanti, tetaplah berada di ruangan ini." Vetter menyugar surai Mawar. Dia mencium cuping telinga wanita itu. Beberapa saat lalu, lelaki itu meminta Mawar datang ke ruang perpustakaan. Bukan untuk hal yang aneh-aneh. Sekadar ingin berbicara, tidak lebih.

Mawar terdiam, di lorong keempat rak buku bacaan, keduanya menatap satu sama lain. Sebenarnya, Mawar sangat takut dikala terang-terangan meneer Vetter mendekat. Walaupun  Mawar sadar bahwa menolak bukan predisposisi tepat. Dia harus selalu menurut demi keselamatan bapak yang entah ada di mana. Kendati itu sama harganya dengan menjual diri pada meneer Vetter. Atau barangkali harga dirinya tidak bernilai? Mawar tidak ingin terlalu teruk memikirkan.

Harapan hidupnya satu, bertemu lagi dengan bapak.

Pada akhirnya, wanita itu hanya bisa mengangguk. "Bagaimana mevrouw Amber? Dia mungkin mencari saya, meneer." Mawar bertanya tanpa dia menatap sang lawan bicara. Namun meneer Vetter malahan mengangkat dagunya.

Lelaki Belanda itu menarik senyum teduh. "Amber akan sibuk dengan tamunya. Turutilah kata-kata saya, Mawar." Vetter mengecup keningnya Mawar sebelum Vetter mendaratkan labium di atas ranum Mawar. Candu. Rasanya nikmat. Andai saja pesta itu tidak dimulai sebentar lagi, pastinya dia ingin mengejar kepuasan kepada gundiknya itu.

"Papa, apa papa di sini?" Suara anak gadis membuat Vetter merekatkan tubuhnya pada Mawar, dia spontan angkat jemari memberi isyarat pada Mawar agar tetap diam. Vetter lalu mundur selangkah demi selangkah, menjauh dari Mawar.

Sekon kesekian, Vetter pun berbalik. Dia merentangkan tangan kepada Laurent. "Papa di sini," Berjongkok menyejajarkan posisi. "Kenapa hm? Apa para tamu kita sudah datang  sayang?" Tanya Vetter sembari dia mengusap-usap pundak Laurent— anak kembar Vetter dengan Amber. Satunya bernama Barent, anak laki.

Laurent mengangguk. "Benar papa. Mama memintaku memanggilkan papa." Anak enam tahun itu kontan menarik senyum hingga ompongnya terlihat.

Vetter geleng-geleng kepala, berdiri  menggandeng tangannya Laurent. "Ayo kita sambut para tamu di luar." Dia mencubit hidung Laurent dengan tangan satunya.

Papa dan anak itu memacu langkah pergi dari sana tanpa ketahui bahwa sepasang mata dari tadi mengintip momen hangat bapak dan anak itu.

Dorongan batin Mawar bersiteru, dia memegang dada yang merasa nyeri. Mawar rindu bapak, rindu sekali. Dia mendengar banyak pribumi di kebun Belanda tak mendapatkan perlakuan layak. Kelaparan, penyiksaan, serta masih banyak hal mengerikan yang lain. Mawar hanya bisa berharap jika bapak tetap baik-baik saja. Hanya itu intensi Mawar.

Sementara di sisi lain, Vetter serta Amber kini berdiri di ambang pintu wisma, menyambut para tamunya. Banyak petinggi Belanda yang hari ini datang.

"Vetter, tamunya lebih dari dugaan kita." Amber mengusap dada bidang suaminya, bersandar beberapa detik.

Jatter di sebelah mereka menatap dalam. Mengamati kakaknya yang seakan-akan mempunyai kehidupan bahagia. Vetter mengusap pundak Amber, mencium keningnya. Jatter paham betapa Vetter tersiksa terus berpura-pura baik-baik saja. Namun, Jatter tidak bisa membantu apa-apa. Tidak lama impresi pria belanda itu  terseret pada masa-masa terburuk kakaknya.

Aku tidak mampu Jatt, bagaimana bisa aku hidup tanpa Roséanne-ku.  Sakit sekali Jatter.

Jatt, Amber hamil, bukankah aku pria yang buruk? Cintaku masih belum bisa kuberikan pada Amber. Namun, seorang anak akan lahir di antara kami. Seharusnya Roséanne yang bersamaku Jatt.

Lekas Jatter menggaruk kepalanya karena teringat nestapa kakak yang masih belum bisa berdamai dengan masa lalu.

"Woah, kau sudah di sini Jatter," Dan pada detik itu Jatter terkesiap sekala suara James masuk gendang telinga miliknya.

Van de Vetter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang