James menyeringai melihat ekspresi terkejut Mawar sedang Vetter tidak mampu berkata-kata.
Pandangan Vetter kemudian terarah ke Mawar yang berdiri mematung. Vetter pernah berjanji memastikan bapaknya Mawar hidup asalkan dia bersedia menjadi gundiknya.
Tapi kenapa malah dipertemukan dengan suatu keputusan yang sulit?
Apa yang harus dilakukan? Seorang seperti Vetter tidak mungkin ambil keputusan yang merugikan negeri sendiri. Dalam artian adalah kaum Belanda. Pribumi-pribumi itu telah langgar aturan, memberontak dan menyebabkan kerusakan fatal pada lahan milik Belanda di Wonosobo.
Bagaimana bisa Vetter memastikan bapak Mawar yang dalang daripada pemberontakan itu, hidup?
"Vetter, beberapa pasukanku sudah kusebar diseluruh Wonosobo serta aku meminta beberapa berjaga di magelang."
Benar, pusat kantor mereka berada di Magelang termasuk wisma milik Vetter berada di wilayah itu. Vetter masih diam, tidak berkenan berikan respon karena dia masih bersiteru dengan pikirannya sendiri.
Sementara James menarik nafasnya panjang. James mengulang, "Vetter, kau mendengarku?"
"Ya, aku mendengarmu. Mereka tak jauh dari wonosobo. Kita buru para pribumi itu." Vetter berdiri, menatap lurus seraya menarik ujung jas agar kembali rapi.
"Kita akan berkuda ke Wonosobo," Titah Vetter kemudian dia berjalan tegas keluar dari ruangan itu.
Meninggalkan James serta Mawar yang masih meratapi kesedihannya.
Tidak lama James ikut pergi dari sana. Saat berada di ambang pintu, James menoleh pada Mawar yang masih menunduk setelah tadi orang itu ambil nampan yang terjatuh ke lantai.
"Sayang sekali, setelah ibu, sekarang bapakmu." James menyunggingkan senyum.
Mawar yang samar-samar dengar hanya bisa mendekap erat nampan sembari menangisi bapak. Kenapa harus bapaknya? "Bapak, Bapak ada di mana? Mereka mau bunuh bapak. Mawar harus bagaimana? Hiks..hik, rasanya sakit sekali."
Dada Mawar terasa sesak, nafasnya tidak beraturan. Dia berusaha guna menyeimbangkan tubuh dan berdiri. Melangkah gontai bertujuan hendak menemui meneer Vetter.
Namun, saat dia baru dua langkah keluar dari ruang itu, Mawar merasa langkah kakinya berat. Dia tabrakan tubuhnya ke dinding. Jatuh merosot sembari menangkup wajah. Mawar menangis, begitu larat dan pilu kala impresi-impresi bapak beterbangan memenuhi kepalanya. Mawar hanya memiliki bapak yang Mawar jadikan sebagai penyangga keyakinan agar tetap bertahan dalam kehidupannya yang menyesakkan sebagai seorang gundik Belanda. Berusaha menerima dengan lapang dada saat ada nyawa hasil hubungan gelap dengan sang meneer Belanda demi semata-mata menjamin bapak tetap bernafas dan hidup hingga suatu hari Mawar bisa kembali bersua.
Mawar, bapak akan kembali suatu hari demi kamu dan simbok. Ndak papa nduk, bapak ndak papa.
Itulah kalimat terakhir bapak Mawar sebelum diseret paksa oleh prajurit Belanda seperti binatang hina yang tak layak mendapat perlakuan baik. Alih-alih justru digeret kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Van de Vetter
FanfictionTanahku telah kaum anda jarah! Ibu pertiwiku menangis karena kebiadaban kaum anda! Lantas bagaimana bisa kita bersama?