Beberapa Hari Kemudian
Vetter tertegun saat kembali; tanpa sepatah kata keluar dari labium. Dia berdiri mematung saat mendengar penjelasan babunya bahwa Mawar kabur dari wisma beberapa hari lalu tepat dihari meneer pergi. James di sebelah Vetter bahkan ikut terdiam membisu. Melirik raut pasi Vetter di sebelahnya. Dia memegang bahunya Vetter, tetapi dihempas dan Vetter langsung bergegas masuk ke kamar utama.
Terdengar bantingan barang-barang dari dalam sana. Serta teriakan sang tuan Belanda yang dirundung suatu amarah kian membumbung tinggi. "Argh,"
Vetter tidak peduli tangannya mulai berdarah saat dia meninju dinding di kamarnya. Lelaki itu beringsut lalu nenangkup wajahnya. Dia bersandar di dinding. Rasa kecewa, marah, dan sedih melebur jadi satu-mengoyak perasaan Vetter sampai menjadi jadi tidak karuan.
Meneer Belanda itu Bagai merasa dunianya runtuh, serta cahayanya menghilang. Mawar amat berharga, pendar cinta yang Vetter ingin peluk disaat-saat terakhirnya nanti.
Pada noktah itu, hanya hampa yang mengelilingi Vetter. Angannya tidak lain menyeselesaikan apa-apa yang membuatnya pusing dalam urusan pekerjaan dan kembali ke wismanya guna memperoleh sejumput tenang dari paras ayu wanita yang mengisi hatinya. Siapa lagi kalau bukan sang Mawar? Sayangnya, tatkala Vetter kembali, dirinya justru dihadapkan pada keadaan seperti ini.
Vetter merasa dikhianati. Ia merasa sudah diinjak-injak sedemikian teruk sampai pucuk ubunnya terasa panas sekonyong-konyong tungku api yang siap meledak.
"Berani sekali kamu melakukan hal ini, Mawar." Desis Vetter, matanya memerah, kendati sembab tetapi di dalam sana terpancar amarah yang sudah siap dituahkan.
Jiwa yang mulanya bersedih sebab sang pujaan hati kabur itu sekarang berubah penuh amarah.
James yang mendengar sepupunya mengumpat, terkikik. Dia melontari, "Itulah akibat terlalu memanjakan pribumi, Vetter. Harusnya kamu itu sadar jika kaum terhormat seperti kita tidak pernah bisa bersanding dengan,"
Pria berambut pirang itu mengambil jeda sejenak, lekas mengimbuhkan,
"Kaum rendahan yang lebih hina dari anjing." Ujarnya.
Tidak ada jawaban apapun yang Van de Vetter berikan, kecuali tatapan sinis seperti biasa. Sorot mata tajam itu menyiratkan suatu hal yang tidak bisa James pahami, tapi cukup bisa dirinya tebak tindakan tuan belanda itu selanjutnya.
Sedang disisi lain, Vetter pun berdiri sembari mengusap tengkuk. Pria itu mengepalkan tangan seraya labium mulai merajut rangkaian sabda. "Aku ingin para pribumi yang berhasil kita tangkap dalam pencarian beberapa hari ini, dihukum gantung di alun- alun kota. Para pribumi harus tahu konsekuensi dari menentang kaum belanda."
Seutas senyum puas tersirat dari James. Dia menundukkan kepala.
"Dengan senang hati, Vetter." Jawab James sebagai pengiyaan dari titah komandan Djawa itu.
Selepasnya, James angkat kaki dari wisma milik sepupunya itu. Namun, belum sempat tungkai bawa wakil komandan Jawa itu meninggalkan kediaman sepupunya, Vetter lebih dulu mengujarkan sepatah kalimat yang membuat James tersungging dan bersorak dalam hati. Sebab dia mulai dapat menemukan titik lemah dari sosok Van de Vetter yang sedari dulu sulit ditebak.
"Aku akan mengambil cuti beberapa hari ke depan dan tolong gantikan tanggung jawabku sementara waktu sampai aku kembali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Van de Vetter
أدب الهواةTanahku telah kaum anda jarah! Ibu pertiwiku menangis karena kebiadaban kaum anda! Lantas bagaimana bisa kita bersama?