"Ho—e is het met je..."
Bahasa Belanda itu sulit untuk lidah jawa seperti Mawar. Berulangkali dia mengeja sesuai intruksinya meneer Vetter, tetapi rasanya Mawar terbata bata. Dia menggeleng.
"Sulit bahasa ini. Saya tidak bisa." Keluh Mawar.
Duduk di tepian jendela ruang buku Mawar hanya bisa mendesah pelan. Semilir angin dari luar kadang kala membuat surainya berantakan dan Vetter akan merapikannya sesekali.
"Dulu, saya juga kesulitan belajar bahasa kalian, Mawar. Tapi lihat, saya fasih bukan sekarang? Terus belajar, itu kuncinya Mawar."
"Kenapa meneer ingin saya belajar bahasa belanda? Saya hanya orang rendahan dan—
Cup... labium Vetter menyapu ranum merah milik Mawar. Cukup lama dan Mawar masih stagnan. Dia berusaha menetralkan degup jantungnya yang tidak beraturan. Mawar menepis lagi perasaan aneh yang bercokolan. Dia tidak boleh tenggelam dalam ikatan yang membelenggunya. Lelaki yang dua kali umurnya itu hanya memakai dirinya sebagai gundik. Kendati satu demi satu kebaikan terus ditorehkan padanya.
Meneer Vetter mengajari membaca serta menulis dan dia bercerita soal beberapa sejarah dunia. Sudah tiga bulan kepergian anak-anak meneer Vetter, tapi hubungan antara dia dan majikan itu makin sulit terjabarkan.
Mawar hanya buntu. Buntu dengan segala hal yang terjadi hari demi hari termasuk penyakitnya meneer Vetter yang tidak diberitahukan kepadanya. Walaupun tiap dua hari sekali selalu ada dokter yang mengunjungi wisma sepi itu; memeriksa serta memberi obat pada Mawar untuk diberikan ke meneer Vetter. Setiap waktu minum obat, Mawar akan mengingatkannya agar tidak lupa.
Selain itu, Mawar pun akhir-akhir ini sering temani meneer berjalan jalan sore di bukit belakang wisma. Dalih meneer adalah beliau ingin melihat semburat senja yang menampakkan tepian mata beserta mengangumi indahnya bumi Hindia Belanda dan sesekali dia membawa kanvas guna melukis di atas bukit.
Jikalau dulu Mawar sangat benci ke pria Belanda itu, lambat laun Mawar merasa ada sisi berbeda dari sosok komandan Djawa itu yang irasional membuatnya menaruh simpati.
Namun kenapa menjadi demikian?
Lumatan dua labium tersebut lantas berhenti tepat pada detik kesekian...
Vetter menyugar surai tergerai sang pribumi ayunya. "Karena sesekali— saya ingin berbicara menggunakan bahasa Belanda denganmu, Mawar."
Tangan kekar lelaki itu kemudian tak lama turun mengusap perut Mawar. Dia pun tersenyum. "Sekaligus, saya ingin kau sendiri yang mengajarkan kepada anak kita, bahasa Belanda, bahasa ayahnya." Imbuh Vetter. Dia membungkuk, mengecup perut rata wanita itu.
Sedangkan Mawar palingkan muka. Kausa ini pula yang mendasari tiap kebuntuan dalam otaknya. Saat dia ditampar fakta bahwa ada nyawa di dalam rahimnya. Nyawa bayi hasil hubungan sebagai seorang gundik bangsawan Belanda. Mawar tidak pernah menginginkannya, tapi dia tidak dapat menghindarinya.
Semua babu dan jongos lain sudah tahu perihal hubungan Mawar dan meneer Vetter. Beberapa ada yang tetap disisi Mawar sebagai teman, tetapi tidak sedikit menggunjingnya. Mengatakan jika barangkali Mawar pelet meneer Vetter sampai takhluk serta membuat meneer Vetter tega pulangkan istri dan anak-anaknya ke Belanda.
Rasanya sakit, tetapi Mawar terus berusaha menutup telinganya guna menekan nelangsa dalam benaknya
tersebut.Sekala ini, atensi Mawar sepenuhnya terpatri pada meneer di hadapannya. Keduanya sama-sama duduk di tepi jendela besar itu. Mawar mengusap tangan majikannya. "Meneer, bayi ini bukankah tak sepantasnya ada? Apa yang akan terjadi bila mevrouw tahu, saya hanya—"

KAMU SEDANG MEMBACA
Van de Vetter
FanfictionTanahku telah kaum anda jarah! Ibu pertiwiku menangis karena kebiadaban kaum anda! Lantas bagaimana bisa kita bersama?