08

493 92 12
                                    

Malam itu, rembulan bersinar terang dilangit Pemalang dengan bintang bintang yang memperelok gumpalan awan hitam. Sayup-sayup angin tak terasa menembus epidermis wanita yang kini tengah menatap lamat ke bulan penuh di atasnya. Tangannya sesekali mengusap-usap perutnya. Ada gurat-gurat terkesima dinetra wanita itu pada eksistensi semesta di atas sana.

Tidak lama, seseorang muncul dari belakangnya, dengan tangan yang dilipat ke belakang. Orang itu tidak lama menghampirinya, memberikan sesuatu padanya. "Saya pikir kamu sudah kembali ke rumahmu, Mawar. Ternyata masih di sini ." Ungkap pria dengan setelan khas jawa, bedanya pakaiannya dibuat dari sutra yang mahal. Tidak seperti pakaian Mawar yang sudah tak lagi layak pakai.

Mawar buru-buru berdiri, kemudian memberi hormat pada lelaki itu, "Ini, saya baru mau balik, ndoro agung."
Ucap Mawar gugup. Pasalnya, tata krama sangatlah dijunjung tinggi di tempat ini, di Kadipaten Pemalang. Tempat Mawar dan bapaknya mulai merajut hidup yang baru.

"Duduklah, aku tahu dirimu belum ingin pulangkan, War?" Kata lelaki itu, kemudian dia duduk di bangku taman selepas berkata demikian.

Sesaat Mawar terdiam. Bagaimana bisa kacung seperti dirinya duduk di sebelah seorang yang punya posisi dan jabatan tidak main-main serta sangat disegani seantero Pemalang? Mawar merasa kurang ajar. Mungkin kalau bapak beserta paman Narto tahu, Mawar nantinya akan dimarahi habis-habisan.

"Tapi ndoro- saya tidak bisa duduk bersebelahan dengan anda. Saya ini cuma kacung, ndak sopan kalau saya duduk disebelah ndoro." Mawar tak menatap lelaki itu, kepalanya justru menunduk menatap jemarinya yang dia mainkan karena gugup dan juga takut.

Bukan karena apa, adipati Prayoga adalah orang yang baik dan sangat gemati dengan orang-orang yang bekerja wisma residen. Tapi, sebagai seorang bawahan, Mawar takut jika sewaktu-waktu membuat kesalahan tanpa dia sadari.

Yoga tersenyum, sedikit bungkukkan badan kemudian mendongak kepada Mawar dari bawah. Tentu saja hal itu membuat Mawar terkejut, dia segera meluruskan pandangannya agar dia tidak bersitatap dengan majikannya.

"Makanya duduk, War. Kakimu nanti kram." Gerutu Prayoga.

Pada akhirnya, Mawar menurut pada titah sang ndoro. Dia duduk dengan canggung, sesekali melirik ke arah putra dari Haryapatih Pemalang— pemimpin tertinggi, Raden Agung Pratomo. Siapa lagi jikalau bukan Raden Mas Danu Prayoga? Bergelar adipati yang digadang-gadang akan menggantikan posisi ayahnya saat waktunya telah tiba.

Kendati murni pribumi, tetapi lelaki itu berkulit bersih, kuning langsat dan matanya sedikit sipit. Senyum lelaki itu juga sangat manis. Pantas banyak gadis menaruh rasa kepada lelaki itu, termasuk juga gadis gadis belanda yang ada di Pemalang.

Beberapa detik berlalu, keduanya hanya diam bergelut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada satupun yang memulai percakapan. Hanya suara jangkrik dari balik tanaman yang mengisi kesunyian itu disela sela tatapan keduanya yang sama sama terpaku pada antariksa yang merekah indah di atas sana.

Mawar merasa tak nyaman dengan situasi itu. Hendak pamit pulang guna lepas dari kondisi canggung, tapi dirinya tidak punya nyali. Mawar tidak tahu mengapa  secanggung ini lantaran biasanya hari-hari yang lalu, Mawar tidak seperti ini.

"Ndoro ..."

"War, kamu..."

Keduanya tertegun saat menoleh dan bertatapan disela kalimat yang terlontar bersamaan. Mawar lantas menelan ludah, buru-buru alihkan pandang.

"Maaf ndoro." Ucapnya.

Dua detik Yoga diam sebelum arah pandangnya beralih pada perutnya Mawar.

"Sudah berapa lama, War?" Tanya Prayoga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Van de Vetter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang