02

763 183 29
                                    

Semua babu serta jongos di Wisma megah itu tengah sibuk bekerja guna mempersiapkan sebuah pesta. Babu dapur memasak, babu bersih-bersih merapikan setiap sudut wisma dan jongos lainnya mengurus pekerjaan berat.

Sementara Mawar, dia tengah ada di kamar utama — dimintai mevrouw Amber guna menyisirkan surainya.  Wanita Belanda itu memiliki rambut yang indah dan sangat wangi. Pasti karena mevrouw Amber  golongan bangsawan kelas atas serta punya banyak uang untuk beli pengharum rambut yang mahal.

Jika Mawar tidaklah salah dengar, meneer Vetter  senang memanjakan mevrouw Amber, tidak peduli berapa banyak nominal uang yang harus dia keluarkan.

"Mawar, menurutmu kado apa yang harus kubelikan untuk Vetter?" Sang majikan mendongak, tersenyum ke arah Mawar.

Sekejap, Mawar dibuat kagum oleh mevrouw Amber yang walaupun dia sudah memiliki tiga anak, tapi aura kecantikannya masih seperti wanita sepantarannya. Lebih, mevrouw-nya sangat baik pada semua babu serta jongos di sini. Kadangkala, Mawar takut apabila mevrouw Amber tahu bahwa dia adalah gundik suaminya. Mevrouw Amber sering bilang kalau Mawar sudah dianggapnya laksana teman.

Namun, apa Mevrouw Amber tetap  baik padanya jika sewaktu-waktu tahu kebejatan sang suami?

"Mungkin anda bisa membelikan barang yang meneer Vetter sukai, mevrouw." Mawar kembali fokus menyisir surai halus nyonya Belanda itu.

Amber mendesah pelan, menatap ke cermin melihat pantulan diri sendiri.

"Vetter sudah punya segalanya, dan aku tidak tahu dia mau apa sekarang ini." Lantas memijat kening lantaran mendadak dilanda pening.

Mendengar keluhan mevrouw, tidak lama Mawar berkata, "Bagaimana kalau buku, mevrouw? Aku dengar meneer Vetter suka membaca buku."

Buku adalah bagian dari hidup saya, Mawar. Mungkin kau selanjutnya.

Seketika Mawar menggeleng disaat impresi kalimat meneer Vetter tanpa sadar hinggap di kepalanya. Kalimat yang dilontarkan beberapa hari lalu lepas peraduan mereka berkhir. Dia berdehem, meletakkan sisir kontan mengikat surainya mevrouw Amber sesuai keinginan sang majikan.

"Kau benar, Vetter dan buku adalah satu jiwa. Dia tidak bisa hidup tanpa membaca. Suamiku itu, kurasa dia cukup stress akhir-akhir ini. Banyak tuntutan kerja yang membuat Vetter kelelahan." Amber nampak khawatir sedang Mawar memilih diam.

"War, menurutmu apakah Vetter mencintai diriku?"

Kedua alis Mawar bertemu, kenapa harus ditanya? Bukankah kelihatan bahwa meneer Vetter begitu sayang pada mevrouw Amber? Mereka pun dikaruniai tiga anak yang luar biasa.

"Meneer Vetter pasti sangatlah cinta  pada anda, Mevrouw." Jawab Mawar sepersekon kemudian.

Menutup kelopak mata, Amber tidak lama menarik nafas berat. "Semoga. Hari ini pesta perayaannya sepuluh tahun pernikahan kami. Hati rapuh dan kosong itu pastinya sudah terisi namaku..."

Hati rapuh dan kosong? Mawar tidak mengerti tapi dia tidak memiliki hak guna bertanya lebih jauh. Dia lekas bergegas pamit setelah selesai. Tapi disemenjana itu, suara meneer telak membuat Mawar sejenak hentikan langkah.

"Amber, apakah kau melihat jasku–"

Kalimat Vetter terhenti saat melihat Mawar berada di sana, di belakang tubuh istrinya. Mawar memberikan hormat, membungkuk sebelum dia memacu langkah keluar kamar sang majikan.

Lewat sudut netranya, Vetter melirik presensi Mawar yang lewati dirinya.

Buru-buru atensi Vetter kembali ke Amber yang duduk di depan meja rias. Dia tersenyum, "Lihatlah istriku cantik sekali." Melangkah, mengecup labium sang istri.

Van de Vetter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang