Hari ke-5

1.6K 238 35
                                    

Sanji

Sanji duduk di teras mansion megah itu. Dua kakinya menempel pada dada sementara dagunya beristirahat di atas lutut. Dia nggak mimpi. Kemarin Zoro beneran nyium bibirnya di kolam renang. Dan dia yang ngebolehin si lumut itu mengambil kesempatan.

Lagian ini nggak kayak dia nggak suka.

Ia mengubur wajahnya di lutut, menenggelamkan jeritan yang ingin keluar. Lantai marmer tempatnya duduk begitu kontras dengan cuaca panas. Sanji menghela napas pelan. Malam itu tidurnya tidak tenang. Ia yakin seratus persen Zoro juga tidak bisa tidur.

Rasanya aneh. Sanji nggak pernah ngerasain ini, apalagi perasaan itu ditunjukkan pada ijo lumut yang kerjaannya tiap hari cosplay jadi sleeping beauty. Ah jadi kesel sendiri kan kalo diinget lagi!!

Tung tung tung!

"Belii!" Sanji mendadak meloncat dari posisinya untuk berlari keluar pagar besar itu. Badan kurusnya menyelip di antara celah pagar dan mengeluarkan duit dari dalam saku celana.

"Pake roti?"

"Pake cone aja bang,"

"Gue juga mau,"

"EH SETAN!" Sanji memukul tubuh pria yang berbisik di perpotongan lehernya. "Oh— Zoro..." tangannya buru-buru meraih sisi tulang yang ia pukul.

"Brutal banget sih lo! Gila ini kekuatannya mah sama aja sama kek gorilla," gerutu Zoro.

"Ya lagian lo gaada suaranya tau-tau udah di belakang, siapa yang gak kaget coba?" Sanji membela diri walau tetap mengusap bagian yang sudah kena pukul.

Zoro melempar senyum lebar, memamerkan sederet gigi putih. "Beliin gue juga dong, pake cone," ujarnya. "Itung-itung permintaan maaf lo udah mukulin gue,"

"Dih bayar sendiri, bapak lo kan berduit," Sanji merengut. "Sekali pukul mah kurang, lo harusnya dipukul sampe babak belur dulu baru gue beliin es krim,"

"Ga asik banget lo,"

Sanji membuang muka. "Emang gue peduli?"

"Lo gak mau ikut gabung kebun binatang gitu? Pasti banyak yang nonton— ADUH!"

Sanji tidak menggubris rentetan sumpah serapah yang keluar dari bibir si pria hijau setelah ia menghajarnya dengan satu tendangan di tulang kering. Ia membayar dan berlari masuk ke dalam rumah sambil membawa es krimnya cepat. Ia membanting pintu tepat di wajah Zoro dan berlari sebelum si hijau berhasil membuka pintu dan menangkapnya.

"Sanjiii!" Zoro mengejar.

"AAAA! BERHENTI NGEJAR GUE!"

"BERHENTI LARI!"

"Pagi-pagi udah ribut aja, dasar cowok," Perona menggumam seraya menyisir rambut pinknya. Dasternya berayun ketika ia berjalan untuk duduk di sofa ruang keluarga, memilih menyalakan televisi untuk menonton sinetron kesukaannya.

Sanji berlari ke atas tangga, langsung menuju kamar mereka. Zoro berhasil menangkapnya tepat sebelum pintu ditutup. Dua tangan kekarnya melingkari pinggang yang lebih ramping, mendorong keduanya hingga terjatuh ke atas karpet.

Napas mereka memburu. Wajah Zoro berada sedekat mungkin dengan wajahnya. Sanji sadar pria itu semakin mendekat, hendak mencium bibirnya untuk kesekian kali.

Ia segera mengangkat es krim dan meletakkannya persis di depan bibir Zoro, menghalangi bibir mereka untuk bertemu.

Syukurlah, es krimnya masih belum leleh.

Tapi wajah pria di depannya keliatan jengkel. Dan Sanji menyukainya.

~•*•*•*•~

Zoro

"Bosen?" Zoro mendekat, bertanya pada si pirang yang menguap di depan televisi dengan baju piyama bermotif sapiderman itu. Mereka dipaksa Perona duduk dan nonton Home Alone rame-rame. Zoro udah ratusan kali ngeliat film itu tiap ditinggal bapaknya pas lagi liburan.

"...iya," Sanji balas berbisik. Tangannya masih memeluk bantal, mengistirahatkan kepala dan memandang TV. Pancaran cahaya dari televisi membuat wajah pucatnya bersinar hangat.

"Ayo pergi," Zoro menggandeng tangan Sanji. "Pelan-pelan aja," ia berkata, melirik kakak dan ayahnya yang masih bersender pada sofa.

"Kemana?"

"Ke tempat favorit gue, ayo,"

Sanji menghembuskan napas. "Jangan bilang gym,"

Zoro menahan tawa. Sanji belum tahu banyak tentang dirinya. Setidaknya tebakannya tepat kalau hari sedang siang. Tapi sekarang sudah malam dan Zoro tidak tertarik melatih tubuh di gym malam-malam. Zoro punya satu tempat lagi. Tempat yang bahkan Perona dan Mihawk belum pernah kunjungi.

Mereka berjinjit pergi, melangkah keluar dari ruang keluarga.

Zoro membawa si pirang ke lantai dua. Mereka lalu menaiki tangga spiral bewarna hitam dan mencapai lantai tiga. Di sana ia membuka sebuah pintu kayu kecil dengan ukiran bulan dan bintang.

Mereka disambut oleh ruangan kecil dengan sebuah armchair merah, meja bundar dan lampu baca, serta lemari antik penuh buku. Dinding kayunya dicat hitam sementara lantainya dihiasi karpet merah dengan pinggiran emas.

Zoro berjalan ke arah meja lebih dulu, menarik suatu barang dari atas permukaan meja. Lalu ia membuka jendela berbingkai hitam. Matanya memandang langit untuk sesaat. "Di sini," jarinya menunjuk keluar.

"Di sini?" Sanji menunjuk ruangan.

Zoro menggeleng. Ia menyeringai sebelum mendorong tubuhnya keluar jendela. Kakinya menapak, menginjak atap. Kemudian tangannya terulur, menunggu Sanji menggapainya lebih dulu.

Pria pirang itu mengangguk dan membiarkan Zoro membantunya keluar jendela. Kini mereka duduk bersebelahan, memandangi langit.

"Dari sini lo bisa liat bintang," Zoro berkata.

"Lo sering datang ke sini?" Sanji bertanya.

Si hijau mengangkat bahu. "Tergantung mood, sekarang lagi kepengen aja,"

"Zeff juga sering ngebawa gue ke lapangan buat nonton bintang, kita duduk di deket ilalang sambil ngeliatin bintang jatuh," si pirang menghela napas.

"Mihawk ga pernah tuh ngebawa kita ngeliat bintang, jalan-jalan aja jarang,"

"Tapi ayah lo keliatan asyik gitu? Kek maksud gue seru, ayah lo seru,"

Zoro terdiam. Lalu ia melanjutkan, "Dia baru kayak gini pas ada lo aja, Nji... Rumah ini berubah pas ada lo, Perona jadi ikut ngumpul dan Ayah juga mulai suka ngobrol,"

"Masa?" Sanji tersenyum kecil.

Gue juga lebih suka rumah ini pas ada lo. Tapi Zoro menahan perkataannya.

"Terus, menurut lo... gue gimana?" Sanji bertanya.

"Maksud?"

"Ya siapa tau lo juga berubah gara-gara ada gue di sini haha," si pirang menyipitkan matanya, memamerkan smiling eyes.

"Gausah mimpi," Zoro mendengus.

"Ngaku aja deh, lo suka gue kan?" Tangannya mendorong tubuh Zoro pelan. Tawanya agak sedikit histeris seperti tengah menutupi rasa malu.

Zoro tidak menyahut. Tidak menyanggah maupun mengiyakan. Tangannya meraih kantung celana, mencari-cari sesuatu. Lalu mendadak ia meletakkan rokok di mulutnya, mengapitnya rapat selagi merogoh kantung lain dan mencari pemantik api. Setelah menyalakannya, ia mengisap rokok tersebut perlahan lalu menghembuskan asap ke langit.

Wajahnya mendekat, memberi kecupan ringan beraroma asap di bibir si pirang. "Lo berisik," ia berkata, menyodorkan rokok dalam keadaan nyala pada Sanji.

Sanji berkedip. "Boleh ngerokok di sini?"

"Gue yang bolehin, kalo nggak boleh biar gue aja yang dimarahin ayah. Lagian kita lagi di atap, gapapa kok,"

"Thanks."

~•-•~

Kapan kira2 mrk confess ya~

1 Week BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang