🤍Sajadah malaikat🤍

313 49 8
                                    

Happy reading

🤍🤍🤍🤍🤍

Langit yang semula menghitam kini kembali terang. Bekas air hujan terlihat menggenang menutup beberapa sebagian jalan. Aroma petrichor mulai tercium ketika rombongan santri berbusana putih itu turun berbondong bondong dari bus pariwisata.

Di belakang jilbab almamater mereka terukir kaligrafi indah bertuliskan nama pesantren, Syifaul Qolby. Benar, empat bus itu merupakan rombongan ziarah dari santri santri kelas 3 Aliyah yang sebagaimana menjadi acara rutin menjelang ujian nasional. Mengunjungi beberapa makam aulia' untuk ngalap do'a.

Rombongan santri putra sudah berjalan lebih dulu beserta ustadz pendamping, begitu pula santri putri menyusul di belakangnya. Berjalan berdampingan sambil sesekali menelisik toko toko di sepanjang jalan Dhoho, Kediri.

Usai mengunjungi pesantren Jampes, sore ini mereka melanjutkan berziarah ke makam Syekh wasil. Atau mereka menyebutnya Mbah Wasil yang mendapat julukan sebagai pangeran mekkah. Pintu masuk berada di sisi kanan jalan raya, mereka hampir saja memenuhi jalan ketika menyebrang. Air yang menggenang di pintu masuk makam Setono Gedong itu terlihat memantulkan bayangan mereka.

"Tv ne guede, rek! Masyaallah. " Celetuk salah satu santri putri ketika matanya menangkap layar LED besar yang terpampang di atas jalan raya.

"Katrok kamu, Tus! Itu mah biasa."
"Biasa lah, Ra. Kayak nggak kenal Mara'atus aja sih. Ha ha ha. " Santri bernama Mar'atus itu tak begitu menanggapi ocehan Aira dan Keysa. Ia masih terkagum kagum melihat tv sebesar itu berada di atas jalan raya.

Setibanya di lokasi pesarean, mereka segera mengambil posisi duduk untuk memulai acara doa bersama yang dipandu oleh Gus Rofiq selaku perwakilan dari dzuriyah pesantren. Santri putra berada di barisan depan, sementara santri putri duduk tenang di bagian belakang. Tidak semuanya tenang, diantaranya masih ada yang berkasak kusuk ataupun sekedar mencuri pandang ke arah santri putra.

"Ra, lihat tuh! " Keysa menyenggol lengan Aira pelan. Matanya melirik pada sosok laki laki yang berjalan menunduk diantara kerumunan santri putra. Aira mengikuti pandangan sahabatnya itu. Untuk sesaat ia tak bisa melepas pandang dari laki laki  yang sudah empat tahun ini bersemayam di hatinya. Nama Tauqirurrahman Fadly itu menjadi puisi terindah sepanjang hidupnya.

"Kedep, Ra. Kedep, astagfirullah." Madina salah satu temannya itu segera menutup mata Aira.

"Duh, senyume muanis, Ra." Keysa semakin menggodai, Madina masih dengan paksa menutup mata Aira yang sedikit memberontak kesal sampai Ustadz Fadly duduk diantara santri putra yang lain.

"Yang paling depan, jangan berisik! " Seru Mbak Fitriah sebagai keamanan yang turut mendampingi mereka dengan nada ketus. Aira, Keysa dan Madina langsung diam tak berani berulah, sekedar melihat sekeliling pun mereka tak berani sampai acara doa dan tahlil usai.

Setelah khusuk berdoa, mereka diperbolehkan untuk berkeliling ke sekitar makam Mbah Wasil.

Dikutip dari buku berjudul "Inskripsi Islam Tertua di Indonesia" oleh C. Guillot, Luvdik Kalus dan Willem Molen, Mbah Wasil merupakan tokoh penyebaran agama Islam yang terkenal di Jawa Timur, termasuk Kediri pada sekitar abad 10 Masehi. Selain merupakan Kota wingit bagi para pejabat dan presiden, Kota Kediri juga memiliki kuliner kuliner khas yang sudah melalang buana, diantaranya tahu pong dan gethuk pisang.

Dua hal itulah yang kini menjadi buruan beberapa santri putri.

"Eh, sajadah siapa nih? " Aira menemukan selembar sajadah usai para santri bubaran ziarah. Sajadah bergambar masjid turki itu menyita perhatiannya sebentar.

"Kayaknya milik santri putra deh, Ra."

"Kalau ditinggal ntar mereka nyariin."

"Bawa aja, Ra. Kasian, siapa tau itu sajadah kreditan," Kata Keysa asal.

UAJC (Throwback)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang