🤍Tentang dia🤍

114 25 0
                                    


Happy reading

🤍🤍🤍🤍🤍

Kurang lebih  15 menit. Aku sudah berkali-kali membidik langit. Namun yang kutemukan hanyalah sabit. Juga si  venus yang nampak tak jauh dari sang raja malam jika dilihat dari bumi.

Angin malam bukan lagi menjadi penghalang. Karena tempat ini adalah yang ternyaman. Memandang kanvas hitam disana sambil menorehkan beberapa kata tentang dia. Ah,dia! Sudah hampir berganti purnama. Mimpiku selalu kedatangan tentang sosoknya. Menyita waktuku untuk menerka,mengapa bayangnya selalu ada.

Dari sini, jemuran lantai tiga. Kunikmati angin yang semakin berani memainkan ujung jilbabku. Sesekali kulihat ke bawah. Sudah pukul sebelas masih ada saja santri yang mencuri waktu untuk ke kantin. Tak hanya itu. Rombongan anak anak dari komplek Hafsah nampak berjingkat ketika melewati depan kamar keamanan. Mereka masing masing membawa timba pakaian dan menuju lantai tiga. Untuk apa lagi jika bukan menyuci?

Sekali lagi. Dengan mata lebar ku telisik langit malam. Hanya ada satu bintang dan raja malam yang sebenarnya berjauhan. Mungkin sebagian langit mendung.

Aku berangsur mundur. Memilih duduk di bawah jemuran yang masih kosong. Setelah kain jarik ku bentangkan. Sembari ditemani sang bintang. Aku duduk dengan nyaman. Ku buka buku catatan lembar demi lembar. Setiap hari, tak luput kutulis dimana aku bertemu dengannya, pukul berapa, dan serentetan yang menyangkut tentang dia, ada dalam buku ini. Buku yang sudah hampir usang. Yang kubeli dengan tabungan. Nyatanya, mengagumi dalam diam itu lebih menyenangkan daripada harus terang terangan.

Pernah saat itu. Ketika pertama kalinya Keysa bahkan teman teman yang lain mengetahui siapa sosok yang kusukai. Berita itu terus menjadi buah bibir teman teman sekelas. Setiap beliau, Ustadz Fadly mengajar di kelas kami. Ada saja hal hal yang mereka lakukan untuk menggodai. Lalu diriku yang semula diam diam saja seperti tak terjadi apa-apa. Alhasil menjadi canggung dibuatnya. Aish. Sial!

Sampai yang paling parah yaitu ketika aku memutuskan izin satu hari saat jadwal Ustadz Fadly. Hanya karena ingin menjauhi godaan dari teman teman dengan alasan sakit. Padahal aku sendiri tahu, jika tamarodhoh itu tidak baik.

"Ra, ayo ikut kumpulan di pondok putra! " Ajak Neng Ridha selaku bendahara kelas. Sekaligus Ana sang ketua kelas. Semenjak kujatuhkan hati pada Ustadz berlesung satu itu. Tiap mendengar kata pondok putra ataupun sesuatu yang menyinggung tentangnya. Perasaan ini menjadi tak baik baik saja. Pacuan detak jantung menjadi dua kali lipat.

"Nggak ah! Ngapain ngajak aku? " Aku mencoba menghindar waktu itu. Menyibukkan diri dengan memberi sampul plastik pada kitab washoya. Sudah usang jadi kuganti.

"Kamu nggak baca i'lan to, Ra? Ketua, bendahara, sekertaris dan keamanan kelas wajib berkumpul. "

"Di--dimana? " Aku pura pura saja tidak tahu. Jika terlalu antusias mereka malah menggodaiku habis habisan.

"Pondok putra lah. Ini perkumpulan umum, Ra. Langsung dari ketua OPS pusat dan Abah Yai. " Jika amanah ini memang dari Abah Yai. Santri manapun tidak ada alasan lagi untuk menolak hadir. Apalagi alasan takut salting dan grogi bertemu dia. Secara, Ustadz Fadly adalah wakil OPS pusat. Duh, gusti semoga tidak bertemu beliau.

"Tapi kalau misal bertemu, tidak apa apa kan? " Aku terkikik pelan dalam hati. Mempersiapkan diri sematang mungkin. Menormalkan sikap supaya tidak terlihat terlalu antusias. Mereka pasti sudah membaca pikiranku.

"Oke, ayo! " Aku beranjak. Membenahi kerudung seragam dengan meniup ujungnya pelan. Sudah kuduga. Neng Ridha yang paling ketara bersiap untuk menggodaiku. Awas kamu, Neng!

Tepat saat itu. Jam istirahat tiba. Para pengurus kelas. Bersiap menuju aula pesantren putra. Ya memang begini, jika ada perkumpulan umum. Tidak akan muat jika dilakukan di gedung As Shofa, yang biasanya digunakan untuk rapat para pengurus atau ustadz dan ustadzah.

UAJC (Throwback)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang