🤍Lakban sialan🤍

130 31 1
                                    


Happy reading

🤍🤍🤍🤍🤍

"Mbak, tasik dangu? " Sudah hampir dua menit aku menunggui antrian kamar mandi. Semua bilik yang tersedia sudah penuh terisi. Padahal Keysa sudah mengantrikan dari setengah jam tadi. Ia letakkan gayungku yang berisi seperangkat alat mandi di depan sini.

Tak ada jawaban, ku gedor lagi pintu kamar mandi agak keras. Kesal rasanya.

"Mbak! Masih lama, to? "

"Mbak? "

"Woy, Mbak? " Tak ada sahutan, hanya gebyoran air yang terus terusan di siram. Dengan kesal, ku gedor pintu kamar mandi sekali lagi.

"Ados ta nguras sih, Mbak?? " Baru kulontarkan makian. Seseorang dari dalam keluar. Aku tak begitu mengenal. Yang jelas ia adalah seniorku.

"Makannya, kalau antri itu sama orangnya. Jangan sabunnya, tok! " Kesal ku belum hilang sepenuhnya. Ia malah ceramah. Terlihat gulungan handuk di rambutnya, lalu cucian baju satu timba penuh. Oh, gusti! Padahal sudah jelas jelas dilarang mencuci baju di dalam kamar mandi. Dasar!

Tak ingin menunggu lama. Segera aku masuk dan melakukan ritual mandi. Untung saja airnya masih ada dua kulah. Secepat kilat aku mandi. Karena sebentar lagi bel madrasah akan berbunyi.

"Duluan aku, Ra. Buku dan kitabmu aku bawa. " Beruntung punya sahabat yang sangat peka. Keysa membawa semua buku pelajaran dan kitabku. Ia sengaja meninggalkan pouch alat tulis. Sebab jika nanti terlambat jadi bisa menjelaskan dengan alasan mengambil pouch alat tulis digotakan kamar. Eh, jangan ditiru!

Dengan sigap, aku memakai seragam baru. Kenapa baru? Karena seragam putihku tadi malam hilang di jemuran. Padahal sudah jelas sekali kuberi nama Aira, lengkap dengan nama komplek, alamat, rt, rw bahkan kode pos. Naas, seragam yang sudah dua tahun menemani semasa aliyah itu raib entah kemana. Mencarinya pun sia sia. Kuputuskan segera setelah itu membeli seragam baru di koperasi santri. Beserta bet alokasi dan atribut lain.

"Aduh, belum dijahit. " Keluhku, ketika menatap berbagai macam atribut sekolah itu masih terpisah dengan seragam. Karena jika tidak lengkap, maka akan menjadi sasaran empuk
para anggota razia santri.

Sejenak, aku berputar putar tak menentu. Berpikir bagaimana bet serta atribut yang lain menempel di seragam sesuai tempatnya.

"Aha! " Segera kubuka pouch alat tulis setelah mendapat ide brilian. Mataku berbinar ketika mendapati lakban ajaib bolak balik yang kubeli tiga bulan lalu di Matos.  Hampir sama dengan doubletipe, namun ukurannya agak tebal dan elastis.  Lakban ini dari dulu menjadi senjata ketika aku kepepet membutuhkannya.

Tanpa menunggu lama. Kupasang lakban kecil kecil dibalik bet. Karena tidak mungkin dijahit dengan waktu yang hampir mepet masuk sekolah.

"Sempurna, hihi. Gini kan rapi. " Aku berputar sebentar di depan cermin. Mengoreksi semua atribut terpasang di tempatnya.

Detik selanjutnya. Kuputuskan setengah berlari menuju gedung Al Marwah, dimana gedung sekolahku berada. Segera kududukkan diriku di kursi sebelah Keysa.

"Hari ini badalan, Ra. "

"Ohya? Syukurlah. " Aku bernafas lega. Hari ini Ustadzah pengampu pelajaran ekonomi berhalangan masuk. Jadi, sebentar lagi pasti ada mbak santri yang mengisi kelas kami.

Benar sekali, sejurus kemudian. Mbak santri senior datang untuk mengisi kitab bulughul marom yang dikhususkan sebagai kitab badalan atau pengganti pelajaran jika jamkos.

"Kabarnya, akan ada razia lagi, Ra. " Keysa berkata pelan.

"Serius? " Tanyaku memastikan. Sambil sesekali menyelupkan pena khusus untuk maknani ke dalam tinta asap.

UAJC (Throwback)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang