Happy reading
🤍🤍🤍🤍🤍
"Jadi ikut nggak? " Hujan diluar kamar masih menyiptakan nyanyian. Hal itu tak menyurutkan mereka untuk tetap mengikuti pengajian. Beberapa santri yang sudah berbusana rapi siap menanti hujan reda. Namun, ada saja santri yang diam diam berdoa agar hujan tetap turun, supaya pengajian sore libur dan bisa berbaring bebas di kamar sembari menunggu azan magrib berkumandang.
"Jadi dong," Katanya sembari membubuhkan bedak bayi pada wajahnya. Tak lupa, celak oles legendaris ia goreskan di bagian bawah mata. Lipstik? No! Itu tidak perlu bagi santri, dan semuanya tau akan hal itu.
"Bawa payung! " Ucap Husna di ambang pintu kamar Aira. Setiap sore sebelum pengajian berlangsung, Aira dan Husna menjadi juru kunci gedung Al Marwah, yang mana gedung tersebut sehari seharinya digunakan untuk sekolah formal maupun pengajian.
Sekitar 35 ruang, mereka harus membukanya satu persatu.
"Payungku agak rusak ini, Hus? "
"Nggak apa apa, daripada kehujanan." Aira menjulurkan kepala keluar jendela. Hujan masih sangat deras. Tapi tugas yang diemban harus tetap ia laksanakan.
Tak perlu waktu lama. Aira dan Husna teman sekelasnya itu segera melesat menuju gedung Al Marwah. Rok panjang yang mereka kenakan, dijinjing sedikit supaya tak terkena bercak air yang menggenang.
Benar, payung Aira tak cukup bersahabat. Payung itu adalah hadiah yang ia dapat dari toko jam dinding. Beli jam gratis payung. Ya, begitulah. Lumayan bagi seorang santri.
"Hujane tambah deres, Hus!" Aira berteriak dari belakang Husna. Bukannya bertambah sore semakin terang, malah tambah lebat. Begitupula angin yang mulai bereaksi di tengah lapang nampak menciptakan pusaran.
"Puting beliung, Ra! Ya Allah!" Pekik Husna ketakutan. Belum sempat mencapai teras kelas. Mereka malah mematung di tempat. Tak berani bergerak sedikitpun. Dengan mata telanjang mereka menyaksikan tarian angin meliuk mesra di tengah lapangan.
Payung Aira yang bertuliskan 'tolakangin' semakin tak terkendali. Pohon pohon yang berada dibelakang gedung semakin berderit ngeri karena tiupan kencang sang angin.
"Sholawat, Ra. Sholawat. " Nada Husna terdengar risau. Payung yang ia kenakan termasuk kategori payung tebal. Sepertinya hadiah dari salah satu bank yang ada di Indonesia.
"Kok sholawat sih, Hus." Aira mengencangkan kembali pegangan payungnya. Sementara pusaran angin semakin membabi buta.
"Sholawat munjiyat, Ra. Ya Allah selamat hambaMu ini. " Husna mencoba tegar meski dalam hatinya diliputi rasa ketakutan.
Tak mengulur waktu, mereka segera merapal sholawat itu supaya angin yang berputar putar itu berhenti. Jika keadaannya sudah begini, maka pengajian akan dinyatakan libur atau pindah tempat di gedung gedung dalam pesantren yang masih tersisa.
Mereka memutuskan untuk kembali, namun sepertinya pusaran angin itu membuat mereka ketakutan setengah mati.
"Jangan kiamat dulu, Ya Allah. Hiks hiks. " Mereka menangis. Terjebak di bawah hujan deras dan angin beliung yang menyeramkan. Mereka menunggu hujan itu tetap reda sembari terus merapalkan doa doa.
"Mbak! Mbak! " Aira menajamkan pendengarannya. Benar, rupanya segerombol kang santri berada di seberang mereka. Tepatnya di depan teras perpustakaan.
"Hus, itu ada kang kang!" Tunjuk Aira gemetaran. Bersyukurlah mereka rupanya tak sendirian ketika dalam keadaan yang mencekam.
Husna sontak menolah ke arah kurang lebih tujuh orang kang santri yang sama terjebak hujan. Mereka sepertinya ustadz yang akan mengajar pengajian sore di gedung Al Marwah bagian barat yang lokasinya berdampingan dengan pesantren putra.
KAMU SEDANG MEMBACA
UAJC (Throwback)
Romanceini bukan squel atau lanjutan dari "Ustaz aku jatuh cinta". tapi kilas balik kisah-kisah mereka yang belum diceritakan. sekaligus ini cerpen Aira Fadly yang pernah aku tulis di halaqooh 1001 aksara. terima kasih