00

667 50 4
                                    

Makan malam adalah hal yang paling dihindari oleh Naren sebenarnya, dirinya merasa muak berada ditengah-tengah keluarga harmonis yang tidak pernah menganggap kehadirannya.

Naren benci, ketika ayah sudah mulai membuka suaranya, membahas prestasi Jeffran sang abang, dan juga Hanan kembarannya, lalu berakhir dirinya yang selalu mendapatkan marah, ceramahan, dan celoteh sana sini.

Seperti sekarang ini, anak itu hanya diam, mengaduk makanannya tanpa ada niatan untuk dimasukkan kedalam mulut, kedua telinganya sudah mulai memanas, muak mendengar ayah dan bunda yang tengah membanggakan Hanan, memujinya, meninggi-ninggikannya.

"Hebat loh Hanan bisa tembus olimpiade fisika tinggat nasional, nanti kasih tahu ayah sama bunda ya kapan hari olimpiadenya, biar ayah bunda sama abang bisa hadir, nyemangatin Hanan." Johan, ayah tiga anak itu menepuk bangga pundak Hanan, si anak tengah yang kini hanya tersenyum canggung.

"Ayah, nggak usah berlebihan, Hanan malu, ini cuma olimpiade biasa." Balas Hanan, dirinya menatap sekilas kembarannya yang sedaritadi hanya diam memperhatikan, tatapannya sedikit menyiratkan rasa iri disana, Hanan tahu itu.

"Lah berlebihan apanya? Wajar kalau ayah gitu, ayah bangga berarti, lagian olimpiade biasa apaan? Adek ikut olim fisika dan tembus tingkat nasional, apa nggak bangga? Abang aja bangga loh. Tuh na, contoh kembaran lu." Balas Jeffran, si sulung yang tengah sibuk menyantap makan malamnya, sesekali melemparkan senyuman bangganya pada Hanan namun tatapan matanya menajam kala melihat Naren.

Ayumi, sang bunda mengangguk setuju, dan ikut menimpali ucapan Jeffran. "Iya Nan, nggak berlebihan itu, wajar ayah kamu bersikap gitu, itu artinya ayah bener-bener bangga, bunda jadi inget Jeffran juga dulu pernah ikut olimpiade nasional fisika sama matematika dan menangkan? Kamu sama kayak abang kamu, keren anak bunda dua-duanya benar-benar membanggakan. Kamu kapan na? Coba contoh dua kakakmu, dua-duanya berprestasi. Nggak kayak kamu."

Sakit. Naren merasa hatinya sakit, bunda dan abang mengatakan itu dengan santainya tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Naren saat ini.

"Iya, nda...nanti Naren belajar sama Hanan, biar bisa kaya Hanan." Balas Naren seadanya.

Hanan tidak merespon ucapan Bunda bahkan memperhatikan saja tidak, matanya sibuk memperhatikan Naren yang tengah menunduk memakan makanannya dengan perlahan, Hanan khawatir dengan keadaan Naren sekarang.

Kedua netra mereka lantas bertemu, Naren hanya tersenyum tipis menatap kembarannya, meski begitu Hanan sedikit memerhatikan netra Naren yang sendu dan seperti menahan tangis.

Naren, anak itu lantas berdiri, dan seketika semua atensi tertuju pada dirinya, mungkin karena Naren yang mendorong kursinya sedikit keras.

"Naren udah selesai, mau ke atas."

Naren segera pergi dari ruang makan, menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya tanpa memperdulikan pandangan tak suka yang dilontarkan oleh kedua orang tuanya dan juga Jeffran.

Hanan yang melihat sikap kembarannya itu hanya diam, sedikit menundukkan wajahnya karena merasa kecewa pada dirinya sendiri, perasaan Naren pasti terluka karena dirinya.

"Kebiasaan, meninggalkan meja makan terlebih dulu." Ucap ayah, sedikit kesal karena sikap Naren yang pergi dari meja makan terlebih dulu tadi.

"Udahlah nggak usah dipikirin, kayak nggak tau Naren aja, adek nggak mau tambah lauknya?" Jeffran berusaha mengalihkan, menyodorkan piring berisi ayam kepada Hanan.

My Sick Twins! || LHC NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang