07. Perasaan asing

218 29 0
                                    

Tok tok tok

Suara ketukan yang berasal dari pintu kamarnya Naren hiraukan begitu saja, anak itu masih enggan untuk sekedar bangkit dari tidurnya dan membuka pintu kamar, tidak peduli siapa yang ada di luar kamarnya itu, paling-paling Hanan kembarannya, tapi sayangnya saat ini Naren sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun.

Cowok jangkung itu memilih untuk menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, dirinya sudah tidak lagi menangis, tapi entah mengapa hatinya masih terasa sakit, sebelah pipinya yang memerah juga masih sesekali berdenyut nyeri sepertinya pipinya sedikit lecet, tamparan ayah benar-benar menyakitkan untuk Naren.

"Narendra Liam. Buka pintunya sebentar." Ucap Hanan dari luar sana.

Naren mengatur nafasnya, berusaha untuk menutupi gemuruh yang tengah terjadi di dalam dadanya.

"Jangan ganggu gua dulu. Gua mau sendiri." Jawab Naren singkat, sesaat setelahnya dapat Naren dengar suara langkah kaki yang menjauh.

Didalam kamar yang sunyi itu, hanya suara dari AC di kamarnya saja yang terdengar. Pandangan mata Naren masih kosong, menatap keluar jendela kamar. Pikirannya terus menerka-nerka kejadian beberapa menit lalu.

Rasanya masih menyakitkan ketika ayah ternyata sudah bermain tangan seperti itu. Seingat Naren semarah marahnya ayah terhadap dirinya, dia tidak sampai hati untuk bermain tangan, menampar anaknya begitu saja. Tapi ternyata sekarang sudah tidak ya, ayah yang sekarang sepertinya akan dengan mudah melakukan hal seperti itu terhadap dirinya.

Naren menggelengkan pelan kepalanya, berusaha untuk membuang pikiran pikiran negatif tentang ayahnya. Kejadian itu memang benar salahnya, salah Naren yang mudah tersulut emosi, salah Naren yang langsung memukul begitu saja, dan salah Naren mencari gara-gara dengan anak direktur sekolahnya.

Naren tidak berhak kecewa seharusnya pada sikap ayah tadi terhadapnya kan? Karena pada kenyataannya disini ayahlah yang lebih kecewa terhadap Naren.

Remaja itu lantas menenggelamkan wajahnya pada bantal, membiarkan lagi-lagi bantal itu menjadi saksi kesedihan yang tengah Naren rasakan.

Dilain sisi, bunda Ayumi yang habis bertengkar hebat dengan sang suami Johan kini tengah membawa sebuah baskom kecil berisikan air hangat, juga sebuah kotak obat disebelah tangannya.

Ibu tiga anak itu menaiki tangga satu persatu, sampai akhirnya tiba di depan kamar Naren, si bungsu.

"Naren, buka pintunya." Ujar Ayumi sebab dirinya tidak dapat mengetuk pintu kamar Naren.

Dapat Ayumi dengar suara gaduh di kamar Naren, tak lama setelahnya pintu kamar milik si bungsu terbuka, menampilkan wajah sembab serta bekas kemerahan yang masih setia berada disana. Hatinya sedikit nyeri melihat keadaan Naren saat ini.

Sedang Naren sendiri kini berusaha menutupi wajah gugupnya, entah mengapa tiba-tiba saja bunda mendatanginya, namun melihat kedua tangan bunda yang penuh Naren segera mempersilahkan bunda untuk masuk.

"Maaf kalau kamarnya berantakan." Ujar Naren, kala netranya baru memperhatikan meja belajar miliknya yang begitu berantakan, buku dimana mana, belum lagi selimutnya jatuh dilantai sebab tadi Naren yang melemparnya begitu saja saat mendengar suara Ayumi.

"Nggak apa-apa. Sini duduk." Bunda memaklumi, dan segera menyuruh Naren untuk duduk disebelahnya.

Meski bingung Naren menurut, mengambil tempat disebelah Ayumi namun memberikan sedikit jarak sebab takut bunda merasa tidak nyaman.

Bunda tidak ingin ambil pusing, wanita paruh baya itu segera memeras kain kecil yang akan digunakan untuk mengompres, setelahnya ibu tiga anak itu mengelap secara perlahan pipi Naren.

My Sick Twins! || LHC NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang