01. Hanan dan tuntutan

346 28 2
                                    

"Nan, pulang sekolah nanti bakal bunda yang jemput ya, bunda mau nganterin Hanan ke tempat les baru, rekomendasi dari mamahnya Rafan tante Ina, katanya disana guru pengajarnya enak, materi yang dianjarin juga lebih unggul, Hanan nggak masalahkan kalau nambah satu tempat les lagi?"

Hanan, cowok yang tengah menyiapkan keperluan sekolahnya terdiam untuk sesaat, memilih merapihkan buku paketnya di meja belajar terlebih dahulu daripada menjawab pertanyaan yang Bunda lontarkan.

Cowok itu tersenyum tipis, dan mengangguk setelahnya sembari memakai ransel sekolah yang sudah siap ia rapihkan.

"Iya nda nggak masalah."

Berat. Rasanya begitu berat saat mengatakan itu, tapi Hanan bisa apa, memang dirinya bisa menolak setiap tuntutan yang diberikan orang tuanya? Tidak, kata mereka itu yang terbaik, jika memang yang terbaik untuk kedua orang tuanya, Hanan hanya akan mengiyakan meski sebenarnya dirinya tidak mau.

Bunda tersenyum, kembali merasa bangga dengan Hanan, si tengah yang selalu menurut dan mau mengikuti apapun yang diinginkannya dan sang suami.

"Bunda sama ayah bukan tanpa sebab mau Hanan nambah satu tempat les lagi, kamu kan sebentar lagi maju ke olim tingkat nasional, bunda sama ayah mau yang terbaik buat Hanan." Jelasnya, sebelah tangan milik bunda mengelus perlahan rambut sang anak, dan lantas mengusap bahu lebar milik putra keduanya itu dengan sayang.

"Yaudah, gih kebawah, ayah udah nunggu Hanan dibawah."

Tanpa berlama-lama Hanan segera menyalimi lengan milik Ayumi sang Bunda dan segera menuruni anak tangga satu persatu diikuti dengan bunda yang juga berada dibelakangnya, berniat untuk mengantar sang anak hingga depan pintu.

Dibawah, sudah terdapat ayah yang tengah menunggunya, juga Naren, adik kembarannya yang tengah sibuk memakai sepatu.

"Udah siap? Ayo ayah antar."

Bukannya menjawab pertanyaan ayah, Hanan justru malah berjalan mendekat kearah Naren yang tengah duduk disofa, kini tengah bersiap untuk segera berangkat ke sekolah.

"Ayo bareng gua Na."

Naren yang sedikit kaget mendengar ajakan dari Hanan, menggelengkan pelan kepalanya, kedua netra cokelatnya memperhatikan pandangan tak suka yang dilemparkan oleh bunda dan juga ayahnya, bahkan dibelakang Hanan ayah menggelengkan kepalanya kuat, mengisyaratkan agar anak itu tidak menerima ajakan Hanan.

"Nggak nan, nana kan biasa berangkat sendiri, pake sepedah, anan sama ayah aja, tuh gih berangkat cepet ayah udah nunggu." Naren mendorong pelan badan Hanan, membuat kembarannya mau tak mau berjalan mendekat ke arah ayah.

Hanan hanya menghela nafas, cowok itu lalu tersenyum, mengacak surai hitam legam milik Naren.

"Yaudah, hati-hati ya? Jangan ngebut-ngebut bawa sepedahnya, anan berangkat dulu sama ayah, nda Hanan berangkat ya." Pamit Hanan, setelah mendapatkan anggukkan dari bunda dan kembarannya, cowok itu segera menyusul sang ayah yang sudah lebih dulu memasukki mobil.

Sepeninggalannya Hanan, Naren lantas segera mendekat ke arah bunda yang berdiri tak jauh darinya, anak itu berniat untuk berpamitan terlebih dulu.

"Nda, Naren berangkat ya." Bunda hanya mentapnya datar sembari mengangguk, wanita yang memiliki rambut sebahu itu segera pergi ke dapur setelah Naren berpamitan padanya, tidak ada niatan sedikitpun untuk mengantar Naren sama seperti Hanan.

Naren tersenyum tipis, tidak apa-apa, dirinya sudah terbiasa dengan sikap dingin bunda padanya, meski terkadang rasa iri terus menghampirinya disertai dengan berbagai pertanyaan.

"Kapan bunda mau memperlakukan Naren sama kaya Hanan bun?"

Dan setiap pertanyaan yang ramai memenuhi kepalanya itu, tidak ada satupun yang dapat terjawab.

My Sick Twins! || LHC NJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang