13

74 9 3
                                    

Matahari sudah condong ke ufuk barat tapi belum sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala, cahaya berwarna jingga tampak menyinari sebagian kota dan jalanan yang masih sedikit padat di lalui banyak pejalan kaki.

Semilir angin berhembus dengan lembut dan menggoyangkan dedaunan yang masih melekat pada dahan, suara tawa dan deringan dari lonceng sepeda mendominasi jalanan beraspal yang cukup lenggang itu. Disana tampak seon ho tengah mengayuh sepedanya dan seokjin hanya perlu duduk di belakang sambil menikmati angin yang menyapu wajahnya dan menerbangkan anak rambutnya.

Beberapa orang tampak menatap mereka dengan kening berkerut ada juga yang menatap mereka dengan tatapan sinis lantaran seokjin yang terus tertawa keras, entah apa yang pemuda itu tertawakan, tapi yang pasti wajahnya tampak menyiratkan kebahagiaan.

Sedangkan seokjin sendiri merasa tak peduli. Dia merasa senang, semua yang terjadi seakan membawanya untuk bernostalgia ke masa lalu dimana keluarganya masih utuh. Dulu dia sering berkeliling komplek dengan sepeda bersama ayah dan ibunya, seperti apa yang dia lakukan saat ini. Hanya saja saat ini tak ada yoona di sisi mereka, tapi tak apa, ini sudah cukup untuk seokjin.

Pemuda itu menghentikan tawanya dan menatap punggung tegap seon ho yang persis di hadapannya. Tanpa ragu anak itu memeluk pinggang sang ayah dan menyandarkan kepalanya di punggung tersebut. Aman, nyaman, dan kokoh, itulah yang seokjin rasakan sekarang.

Setelah kedua orang tuanya bercerai, seokjin tak pernah merasa senyaman dan seaman ini sebelumnya. Ketika dirinya tinggal bersama kakek dan neneknya, dia dituntut untuk menjadi mandiri dan terus mandiri, dan di saat ibunya akhirnya sembuh, dia kembali di tuntut untuk menjadi dewasa dan mampu menopang yoona.

Saat memiliki kekasih pun, seokjin lah yang melakukan segalanya. Pada awalnya dia berpikir menjalin hubungan dengan gadis seperti jisoo akan membuatnya lupa pada kesepiannya, dia pikir wajah indah jisoo adalah obat dari rasa rindunya pada sebuah keluarga yang lengkap. Lalu dia akan menjadi penenang ketika jisoo merasa kesepian, berimajinasi bahwa mereka akan menjalani hari hari yang lebih bahagia daripada yoona dan seon ho. Mengucapkan bahwa semua akan baik baik saja, tertawa dan bersikap konyol di depannya padahal dia diliputi ketakutan dan kesendirian. Sampai akhirnya dia sadar bahwa wajah indah jisoo bukan suatu hal yang dia cintai

Dia lebih mencintai saat wajah ayahnya yang cemberut ketika dirinya berbuat jahil, dia lebih mencintai wajah ibunya yang sedang tersenyum hangat ketika menyiapkan sarapan, dan dia juga lebih mencintai wajah para pelayan dirumahnya yang selalu tersenyum tulus ketika menyambutnya pulang.

Hanya sedikit kebahagiaan yang dia dapatkan ketika masih kecil dan selebihnya seokjin hanya hidup seperti air mengalir, menuruti semua perintah orang yang lebih tua darinya, menanggung tekanan ketika bersama jisoo hingga tak pernah menyentuhnya dalam waktu lama, bahkan untuk ciuman sekalipun, seokjin yang mencurinya, itupun berakhir dirinya yang harus rela di cekik.

Tapi yasudahlah
sekarang dia memiliki seon ho yang mau menopangnya, mau memberikan punggungnya untuk di jadikan sandaran, dan yang lebih melegakan lagi seon ho mau memperlakukannya seperti anak kecil yang dipenuhi kebahagiaan. Dan itu adalah sesuatu yang belum pernah seokjin dapatkan dari yoona, kakek nenek, bahkan jisoo.

Seokjin semakin mengeratkan pelukannya di pinggang seon ho.
Dia punya ayah
Keluarganya masih utuh walaupun tak tinggal satu rumah dan sekarang ayahnya sedang mengayuh sepeda sambil menceritakan kisah yang lucu.

Sepeda mereka berhenti di depan sebuah taman yang dipenuhi anak anak yang sedang bermain dengan para orang tua yang menunggui sambil menggelar tikar di rerumputan. Dan seokjin langsung menarik seon ho dan melemparkan tubuhnya di rerumputan tepat dibawah pohon sakura yang rindang.

Paper HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang