Sudah berapa gelas kopi yang sudah Bimantara minum sambil memandang langit sore. Rasanya tiga entah empat kali Bimantara meminta pak kos (bapaknya Mamat) menyeduh kopi oplet ditambah gula sedikit untuknya. Hembusan napas yang ia keluarkan berkali-kali seakan menggambarkan kehidupan nelangsanya itu.
Semenjak kejadian siang tadi, Bimantara belum lagi kembali ke rumah sakit. Ia malah melipir ke warung ini, memang tempat ini menjadi tempat syahdunya untuk meratapi kehidupan. Biasanya Mamat akan datang menghampirinya dengan penampilan sarung yang dia ikat dipinggang dan peci yang dikenakan di kepalanya. Tapi sudah beberapa menit yang lalu Mamat belum kunjung datang dari mengaji di salah satu musolah dekat sini.
Ada di acuhkan, hilang dicari. Begitulah kira-kira kalimat yang cocok untuk disuarakan pada Bimantara.
Baru saja ia akan menyesap kopi, suara langkah bak orang kesetanan membuat Bimantara menoleh. Atensi Bimantara beralih pada gadis yang baru saja keluar dari rumah terburu-buru.
"Pa, Aku pergi dulu, " Suara gadis itu. lantas pak Kos keluar tergopoh-gopoh, "Mau kemana kamu teh?" Tanya Pak kos pada anak gadisnya bernama Tantri.
"Temen Tranti itu loh yang suka pergi ke panti, dia sakit." Jawab Tantri lantas mencium punggung lengan Pak kos pamitan. Sempat menoleh pada Bimantara, Tantri tersenyum kecil padanya.
Ngomong-ngomong soal Tantri— Kakak perempuan Mamat. Bimantara masih asing dengan gadis itu. Bimantara bahkan belum pernah bertukar sapa dengan dia padahal setiap harinya Bimantara selalu melihat gadis itu pulang-pergi.
"Nambah kopi lagi kagak?" Seru Pak kos saat akan masuk kerumah. Bimantara terkekeh menggeleng.
Melihat jawaban dari Bimantara, Pak kos lantas masuk ke dalam rumahnya. Seketika angin sore ini menembus kedalam tulang dan suara adzan maghrib berkumandang.
Dari jarak beberapa meter, Bimantara melihat Mamat dengan baju koko biru toska dengan sarung bermotif kotak-kotak yang sudah di ikat di pinggang berjalan kearahnya. "Pulang, Bimantara. Saya lagi malas bertemu kamu." Bimantara yang baru saja menggeser badannya agar Mamat bisa duduk disebelahnya.
Langakah Mamat yang sudah di ambang pintu, mendadak terhenti. "Gue pergi nih? kopi 4 kali seduh gak gue bayar ya?" Mamat berdecak. Enak saja kopi gratis, desis Mamat.
Mamat yang tadinya memang tak ingin untuk menemui si manusia bebal ini, dengan berat hati ia mendudukan bokongnya di samping manusia itu. "Saya gak bisa lama,"
"30 menit saya ngobrol sama kamu itu sama dengan 30 jam waktu saya yang terbuang." Sambung Mamat membuat Bimantara yang sudah biasa dengan nyinyiran bocah itu.
"Gak gunakan?" Sepertinya tanpa dijawab pun, Bimantara harusnya sudah tau. perbincangan dan wejangan dari bocah itu tak akan pernah digubris olehnya. Mamat mengambil kuaci yang ada di hadapannya, lantas mengangguk.
Bimantara melirik Mamat sekilas lantas kembali memindai langit sore ini mulai turun perlahan tapi pasti, membuat angin behembus semakin dingin. kedua tangannya memeluk dirinya lalu mengusap-ngusap lengannya sendiri.
"Kembaran gue, dia masuk rumah sakit. Gue gaktau harus kayak gimana hahaha, sakit rasanya. sesak banget dada gue, Mat." Suara renyah darinya mampu membuat atensi Mamat teralih seutuhnya pada Bimantara.
Binar mata Bimantara tak bisa membohongi bocah usia 10 tahun itu. Tutur katanya, dan senyuman itu memang bisa memanipulasi semua orang, tapi bagi Mamat, tidak. Mamat menaruh kembali kuaci yang baru saja lepas dari kacang itu, di atas plastik. "Karena?"
"Dia persis kayak bunda gue dulu, Mat." Bimantara mengambil satu batang rokok dari saku celananya. "Hidup gue selama ini udah hancur Mat, gue gak bisa apa-apa rasanya dari abu-abu jadi hitam pekat ketika gue denger berita itu. Gue semakin benci sama semuanya."
"Termasuk kembaranmu?"
Bimantara menggeleng, "Gue gak benci, sama sekali gak pernah benci dia."
"Selama ini, gue bener-bener sayang mereka. gue sayang bokap sama kembaran gue. Semakin gue sayang, tapi kenapa gue semakin bikin mereka hancur juga?" Kali ini ia merunduk pasrah.
Mamat baru paham dengan keadaan Bimantara. Bimantara yang ditinggal oleh sosok yang menurutnya pusat hidupnya tanpa diajari bagaimana meletakan kasih sayang pada orang sekitarnya, itu sulit bagi Bimantara. Mamat mengerti mengapa dia sesak, sebab dia tidak pernah melapangkan hatinya untuk dirinya sendiri.
Mamat mendongkak, mata membidik burung-burung yang baru saja melewatinya diatas sana. "Kamu tau Bimantara, burung merakit sarangnya sendiri?" Bimantara bergeming. Kali ini sepertinya tidak ada sesi adu argumen.
"Liat burung itu, dia merakit sarang sendiri dia jadikan rumah untuk pulang." Mamat menunjuk pohon jambu batu yang menjulang tinggi. Sarang burung yang entah bagaimana mana caranya burung itu bisa merakitnya sendiri.
"Begitu juga kamu Bimantara, kamu juga butuh pulang, butuh untuk bersandar. Pulang yang saya maksud bukan bangunan yang harus kamu rakit. tapi ruangan kedamaian yang harus kamu rakit sendiri. ketika kamu sesak, ruang kedamaian itulah yang memeluk jiwamu, Bimantara." Benar apa yang Mamat katakan. Seharus Bimantara merakit sendiri ruang kedamaian itu. Bukan hanya melarikan diri dan meracik duka untuk dirinya sendiri. Sang Ayah dan kembarannya selalu di garda depan untuk meretangkan tangan memeluk daksa dan dukanya. Bimantara bahwasaannya paham, tak ada lagi pusat hidupnya selain mereka, tak ada lagi kebahagian selain mereka.
Bimantara meletakan rokok yang belum ia bakar itu pada asbak dihadapannya. Ia merunduk sedalam-dalamnya mengolah semua kalimat disetiap kalimat yang Mamat katakan. Meresapi waktu-waktu yang mereka lewati bertiga selama ini dan reka ulang masa kecilnya dengan Abi berjalan mengitari kepalanya.
"Bimantara, Saya paham. Anak laki-laki mana yang sudi hidup tanpa ibu di sisinya."
"Tapi, yang perlu kamu pahami, sedihmu itu bukan apa-apa ketimbang keluargamu."
"Pulang lah Bimantara, Peluk mereka dengan erat. Katakan, bahwa merekalah pusat dari semua kebahagianmu."
Menjelang malam itu, sudah seharusnya mengikhlaskan segala yang terjadi di masa lalu termasuk dengan takdir yang tuhan tetapkan saat ini. Dari wejangan bocah 10 tahun dengan otak cerdik itu, Bimantara belajar memberi ruang kedamaian agar jiwa utuh meruntuh cukup sampai disini saja.
~Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Pusat semesta ayah
Fiksi Remaja❝Jiwa-jiwa yang patah tentang kehilangan arah yang bercampur elegi.❞ 📌bukan bxb