Sejak delapan tahun sudah Bimantara lewati tanpa pernah lagi daksanya dipeluk hangat oleh Sang bunda, tak pernah lagi merasakan usapan penenang di kepalanya sejuta pelukan dari penduduk bumi ini tak akan pernah bisa menganggantikan pelukan bunda. Sang maha kuasa mengambil semua kesempatan bunda untuk melihat Bimantara dan Abimana beranjak dewasa dengan baik.
Laju motor Bimantara semakin melambat ketika melewati tanah kusir yang sering ia kunjungi. Bimantara memang selalu melewati jalanan ini, walau pun jaraknya ke sekolahnya semakin jauh jika melewati jalan ini, tetapi jika sedang memandang rumah terakhir sang Bunda membuat sudut bibirnya terangkat, beban ia simpan dipundak tiba-tiba hilang begitu saja walau pun hanya melihat dari kejauhan.
"Bund, abang berangkat dulu ya?" Seulas senyum dari Bimantara saat melewati tanah kusir dan itulah kegiatannya selama ini Bimantara lakukan tak seorang pun yang tau.
Tetapi semesta sepertinya ingin membuat Bimantara melewati pagi ini dengan kesialan tepat beberapa meter sebelum pertigaan Bimantara melihat Maga gantara— lawan balapan kemarin semalam yang berujung adu jontos waktu semalam, kini berdiri angkuh bersama kurang lebih dari lima orang yang sengaja menghalangi jalanan kosong yang akan Bimantara lewati.
"Ck, pagi-pagi."
•••••••♡♡•••••••
Abi memang jarang sekali mencaci maki kembarannya itu, namun kali ini memang ia harus melontarkan beberapa kalimat dengan pekiknya sebab kembarannya itu bisa-bisanya terjarat lingkaran setan yaitu tawuran.
"Berisik lo! gue kan minta si Renjana kesini kenapa jadi lo?!" pekiknya bersama langkah sepasang kakinya keluar dari polsek bersama Abi yang sempat tadi mengurus beberapa hal untuk mengeluarkan kembarannya itu.
"Kakak tanya kenapa abang ikut-ikutan hahh?"
"Bukan urusan lo." Lekas membuat amarah Abi semakin bergejolak melebarkan kelopak matanya geram dengan Bimantara yang menganggap masalah ini hal biasa. bodoh itu bodoh jika Sang ayah tahu, Bimantara akan dimarahi abis-abisan oleh Jeremy atau bahkan fasilitas Bimantara yang diambil alih paksa oleh Sang ayah.
Mendaratkan telapak tangan Abi dengan keras ke belakang kepala Bimantara hingga sang empu nyaris tersungkur. "Kalo ayah tau gimana hah?"
"Paling gue di usir."
Tak habis pikir jalan pikiran Bimantara. "Abang tuh masih kelas 3 SMA, kalo abang di usir gimana hah? kalo ayah cabut semua fasilitas abang gimana? pikir kesana lah bang. Ayah capek-capek kerja buat kita tapi abang malah berantem gini mana masuk polsek pula!"
Bimantara membuang sorot tajamnya ke arah lain, sepasang halisnya menukik pula deru nafas emosi sebab ia sangat benci jika ia dihakimi seperti ini, Abi tidak tahu jalan ceritanya bagaimana dan Abi pun tidak tau yang sebenernya Bimantara hanya membela dirinya sendiri saat tadi.
"Lo mau ngasih tau ke ayah? gih sana dah berisik lo kayak ibu-ibu anak lima."
Abi menghela nafas panjang menetral rasa kesal yang bercampur dengan rasa paniknya. sebenarnya ia tidak memarahi Bimantara rasa paniknya itu menguasai dirinya tadi membuatnya terlihat marah.
"Lain kali jangan kayak gini lagi, Ayah sama bunda gak suka."
Kali ini Bimantara memberanikan menatap tajam Abi. "Gue gak berharap lo dateng kesini lagian gue gak papa tidur di polsek." Bimantara membuang tatapan tajamnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Lo gak berhak buat sebut bunda di hadapan gue. lo sama sekali gak berhak ngehakimin gue."
"Gue berhak atas dasar gue kembaran lo, Bimantara. Kita lahir di rahim yang sama, hari yang sama, tahun yang sama tapi kenapa seakan-akan gue asing di kehidupan abang?" Perkataan Abi sukses membuat Bimantara diam lekas kembarannya itu menaiki sepeda motornya meringis pelan atas luka ditangan saat menggenggam stang motor.
lagi-lagi mengundang pekikan dari Abi. "Helm abang mana!"
"Yaelah deket ini ngapain pake helm." Sungutnya.
"PAKE HELM PERGI KE MANA AJA, JAUH ATAU DEKAT, PELAN ATAU KENCENG, SEBENTAR ATAU LAMA." Ucapnya sembari memberikan helm satu-satunya yang tersangkut dikaca spion motor Abi.
"Pake." Tegas Abi mengundang decakan dari Bimantara mengambil dengan kasar helm itu yang kemudian ia pakai dengan raut wajah emosi yang mencekik. Bimantara tanggalkan roda duanya dari barisan parkir tanpa ada teguran atau pun bunyi telakson atas pamitnya pada Abi. Bimantara langsung meninggalkan kembaranya masih berdiri tegak menatap kepergian Bimantara.
Karena pada dasarnya Bimantara menaruh kebencian padanya begitu besar sehingga kasih sayang Abimana pada kembarannya itu sangat luas melebihi semesta tak pernah terlihat oleh Bimantara.
"Hari ini, Bimantara masih benci abi bunda."
Daun-daun gugur menderai aroma Petrikor begitu menusuk pada indera penciuman Abi langkahnya ia beranikan menginjak tempat dimana selalu Bimantara singgahi, tempat peristirahatan terakhir Sang bunda.
Pohon-pohon cemara yang kemarin tingginya tak lebih tinggi dari pohon ceri itu kini sudah ditebang, bunga-bunga yang selalu berbaris rapih tertulis 'Silahkan ambi, Gratis.' dekat pintu masuk kini sudah tidak ada. "Berapa lama kakak gak kesini ya bund?" Kekehnya saat melihat tempat itu sudah satu tahun tak dikunjungi terlalu pecundang sebab Bimantara selalu beri kalimat tamparan untuknya berfikir ribuan kali untuk ke tempat ini. 'Lo sama sekali gak pantes buat sentuh nisan bunda.' Perkataan Bimantara masih terus terputar di kepalanya.
Abi memberanikan, menguatkan raganya kedua netranya tertuju pada batu nisan yang dipenuhi oleh bunga matahari milik Bimantara ketika singgah ke tempat ini. Langkah pelannya mencari tempat kering yang tidak tergenang air.
Batu nisan tertulis, 'Ayni awandira'
Sudut matanya dan lengkungan bibirnya terukir saat melihat nisan Sang bunda bersama getaran pundak yang tak kuasa ia tahan. Kepergian Bunda bagi Abi adalah patah hati yang begitu hebat, raganya memang terlihat kokoh tapi hatinya begitu kacau, tak sekuat dahulu.
Pertahanan Abi runtuh, Bunda.
"Abi rindu bunda."
Bersambung....
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.