Dimas membuka pintu ruangan tegar, ia terlebih dahulu masuk disusul oleh Jeremy dan Abi. Tegar yang sedang mebersihkan meja kerja pun menoleh. "Lah reuni pak?" Kekehnya menghampiri mereka bertiga. mereka berjabat tangan dengan tegar.
Tegar, teman satu kampus Jeremy dan dimas dulu. Lebih tepatnya kakak tingkat mereka satu kosan dulu juga. Kini tegar bekerja disalah satu rumah sakit ibu kota menjadi dokter spesialis bedah saraf.
"Nganter anak gue pak." Jawab Dimas kemudian menjatuhkan tubuh di sofa. Jeremy membelalakan matanya. "Anak gue. enak aja lo. Kawin makanya!" Timpal Jeremy kemudian duduk disebalah dimas. Sang empu hanya mendelik.
Jeremy nampaknya lupa, ia sudah bukan lagi anak muda dengan merek rokoknya malmer. Pria itu seperti lupa juga sudah mempunyai anak dua, jika kalau dipertemukan kedua sohib lamanya itu.
Tegar tertawa renyah tangannya sibuk membuka laci nakas mengambil dua bungkus kopi hitam pait sengaja ia simpan disana. "Gimana mau kawin pak, wong yg dimas incer estri sampeyan."
"Kebiasan lo, main buka kartu!"
"Sapa?"
"Kowe!" Ketus Dimas. Tegar dan jeremy tertawa mengejek. "Makanya sampeyan kawin! apa gak bosen sare sami guling terus?" Lagi-lagi Tegar mengejeknya. sudah biasa bagi Dimas saat reuni dadakan para jompo seperti, Yah tak jauh menyuruhnya menikah.
"Owala, asu."
"Apa mau sama Abi cariin om?" sela Abi yang sedari tadi hanya diam menyandarkan punggung dekat jendela.
Melihat kebawah nampak kendaraan melaju semestinya, orang-orang yang berlalu lalang di ruas sisi jalan dengan cepat itu terlihat oleh Abi dengan jelas di lantai lima rumah sakit ini.
"gak bi, makasih atas tawarannya."
Abi sedari tadi hanya menggeleng pelan, lalu terkekeh pelan melihat ketiga pria jompo itu, bahkan Abi pun hampir lupa niat awal untuk datang kerumah sakit ini.
"Gimana Natan di sekolah?" Tanya tegar.
"Ya gitu om bandel sih enggak, cuma yah semakin hari ceweknya banyak!" Tegar terkekeh. Anaknya itu seperti dirinya dulu berkelana mencari hati yang pas.
"Bener ya, kata pepatah. buah gak jatuh dari pohonnya. Bapaknya dulu hobi cewek, sekarang anaknya gitu." Timpal dimas.
"Lah lu gak suka cewek emang?"
"enggak gitu asu ah, emosi gue."
"Ahk, Om gimana udah keluar hasilnya?" Ucap Abi yang mendekata pada Tegar yang sedang melatakan dua cangkir di atas meja.
Tegar mengangguk. "sudah." Mengambil amplop cokelat di laci meja kerja tersebut.
"Ini hasilnya, om belum cek juga sih baru tadi diantar sama staff rumah sakit." Tangan Tegar terulur memberikan amplop cokelat kepada Abi setelah itu Tegar mendaratkan bokongnya disamping Abi. Dimas dan Jeremy mulanya adu mulut kini etensi mereka teralihkan pada Abi yang sedang memandang amplop itu.
Jeremy tahu betul perubahan raut wajah Abi yang tiba-tiba murung, ia hampiri anaknya itu, "Kakak kalo belum siap, gapapa nanti aja dibukanya ya?" seraya tanganya mengelus pundak Abi.
Abi menghembuskan nafasnya, menoleh pada Sang ayah yang kini sedang tersenyum sampai memperlihatkan dimplenya. "Kalo gak sekarang kapan lagi yah? bukannya lebih cepat lebih baik kan?" belum sempat Jeremy menjawab, Abi tanpa banyak bicara ia membuka hasil lab tersebut.
••••••♡♡••••••
"Ayah?" Tegur Abi sesampainya dirumah sore ini rumah masih sepi tandanya Bimantara belum pulang. Langkah Abi menyamakan langkah sang ayah memasuki halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pusat semesta ayah
Roman pour Adolescents❝Jiwa-jiwa yang patah tentang kehilangan arah yang bercampur elegi.❞ 📌bukan bxb