Langkah kaki anak dan ayah saling bersahutan di lorong rumah sakit minggu siang ini tak banya orang yang berlalu lalang sehingga langkah kaki mereka terdengar. Jeremy sesekali melirik anaknya itu, bahkan ia tidak tau bahwa Abi melakukan CT scan.
"Om dimas belum dateng?" Tanya jeremy setelah keduanya sampai di depan ruangan kawannya yang bernama tegar. Abi melirik ponselnya, "katanya diparkiran yah." Jawabnya yang kemudian Abi mendudukan bokongnya dikursi tunggu.
Jeremy melirik kembali Abi anaknya itu hampir menyamkan porsi tinggi tubuhnya, tak jarang jika mereka berjalan bersama orang-orang yang melewati mereka mungkin menganggapnya seperti sohib. Abi tumbuh di pengasuhannya begitu apik dan hati-hati begitu pula Bimantara. Walau ketiganya mempunyai jiwa meruntuh masing-masing.
"Ayah kalo dateng ke sini berasa lagi nemenin bunda," Celetuk Jeremy yang tiba-tiba membuat Abi menoleh. "Ayah takut, kalo denger 'rumah sakit' dari abang atau kakak, takut apa yang bunda rasain dulu terulang lagi." Jelasnya yang kemudian menundukan badannya sedikit bergetar.
Abi mengenggam tangan kekar sang ayah yang hampir keriput itu, "Kalo tuhan pengen Abi ngerasain apa yang bunda rasain dulu, gapapa itu jalan takdir kan? Abi ini cowok yah, kata om dimas masa jadi cowo cemen? takut sama yang jelas belum ada garis startnya." Jeremy mengusap surai legam Abi.
"Om dimas so keras, kak." Bisik Jeremy dengan wajah yang meledek. "padahal dulu dia nangis-nangis gara-gara danusan gak laku-laku." lanjutnya dengan kekehan pelan saat melihat Dimas semakin dekat ke arah mereka berdua.
"Pantesan," bisik Abi.
"kenapa?"
"orang jualin risolnya gak laku-laku sampe sekarang." Perkataannya sontak membuat Jeremy tertawa elegan begitu pula bersamaan kedatangan Dimas keningnya berkerut, "Gibahin gue ya je?" Sontak keduanya menggeleng.
"Bukan, om. cuma lagi diskusi."
"Cih, gak anak, gak bapak sama aja. ayoo masuk."
••••••♡♡••••••
Dunia ini cuma satu warna dikehidupan Bimantara. Semuanya kelabu. Ia tak merasakan apapun, jatuh cinta dan rasanya kasih sayang. Bimantara tak pernah mengerti apa tujuan hidupnya di dunia ini? hidup tanpa gairah, hampa, tanpa tujuan. Rasanya jika tuhan mengingkannya mati sekarang sepertinya Bimantara sudah siap.
Bertahan dengan alasan sederhana masih banyak yang ingin Bimantara jelajahi. indome kuah dijam tiga pagi, kuetiaw kerap dibeli Abi untuknya yang berakhir Bimantara biarkan, lagu-lagu pengantar tidur, Sinar matahari pagi yang menerobos kamar, Dan Nasi goreng tanpa kecap buatan ayah.
Bimantara hilang arah, Bunda mengkhinatinya. Janji akan ada disaat semua Bimantara lewati namun nyatanya pergi meninggalkannya tak ada lagi cinta dihidupnya.
Bimantara delapan tahun lalu tak pernah terlihat lagi, nyatanya kini hanya sosok Bimantara kehidupan kelabu. Dirasanya Jiwanya tertinggal di pemakaman Sang Bunda.
"Lagi ngapain mat?" Sapa Bimantara pada bocah usia 10 tahun anak pemilik warung tempat tongkrongnya. Dimana letak warung ini tepat di belakang gedung SCBD.
Namanya mamat suryano. anaknya tengil, suka ngasih wejangan kadang tak sopan tapi tak apa. Anak itu bukan anak biasanya, bocah kencur ini terlalu dewasa untuk anak usia 10 tahun.
"Jual cangcimen." sarkasnya. Agak sedikit tertohok tapi Bimantara tak mengubris bocah itu. Mamat duduk disamping Bimantara di pos ronda bambu reyot berhadapan dengan warung.
"Lah sendiri?"
Bimantara menoleh, "Menurut lo mat? liat aja disini cuma ada gue. gimanasih." Mamat menyengir kuda.
"Saya tau kamu sendiri. Tapi kamu ngapain pagi-pagi udah ada diwarung saya? Eh ralat, maksud saya, warung bapak saya."
"Sumpek." Jawab Bimantara yang mengambil rokok marlboro ice burst disaku celananya lalu ia selipkan diantara jarinya. Mamat hanya mangut-mangut mengelus dagunya, mamat harap sih sudah ada jenggot, namun sayang usianya belum ditakdirkan untuk berjenggot.
"Sumpek? padahal rumah kamu teh lega gitu? sumpek karena ruang rumah? atau sesak diruang hatimu, Bimantara?" Perkataan Mamat sukses membuat Bimantara menyalakan benda nakotin diselip jarinya itu. Bimantara tak menjawab, bungkam. Sudah dibilang, Mamat sibocah bau kencur ini bukan bocah yang hobinya bermain dikali ciliwung, ini bocah bukan sembarang bocah.
"Rumah saya hanya sepetak, jika dikatakan sesak, pasti. Tapi kami betah, sebab masing-masing dari kami rumah adalah tempat pulang sesungguhnya."
Gelak dari Bimantara membuat Mamat mengeryit. Tak ada lolucon yang Mamat selipkan. "Lo tau mat? tempat pulang sesungguhnya itu tuhan."
"Kamu mau mati sekarang? memangnya sudah cukup menabung pahala di dunia ini?" Timpal Mamat. "Saya liat-liat di dunia ini kamu hanya investasi dosa saja."
Bimantara membelalakan matanya. "Lo jangan ngomong deh, mental health gue jadi tergoncang." Mamat terkekeh pelan melihat Bimantara yang asyik menyesap rokok kasta tertinggi katanya.
"Memang tuhan tempat pulang sesungguhnya, tapi saya gak mau pulang cepat-cepat kesana, Saya belum lihat teteh memakai toga, saya juga belum lihat bapak menyentuh ka'bah." Bimantara kembali menengok bocah itu mendapati sedang mengupas kuaci, kepalanya ditunduk.
"Bimantara, sesak terlalu itu tidak baik. Penyeselan-penyesalan di depan masih banyak, jika kamu terus menerus menganggap seonggok rumah hanya ada sesak. seperti kamu harus menurunkan kasta rokokmu itu."
"Apa salah rokok gue?"
"Kalau kamu yang hisap enggak keren lagi. mending turun ke Sampoerna Rokok Kretek Hijau aja." Ucapan Mamat sekaligus pamit tanpa hormat itu membuat Bimantara mendesis kesal.
"Niat hati kesini untuk healing malah jadi gak eling."
"BISMILLAH, MAMAT ANJING LU."
Bersambung.....
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.