3

83 15 4
                                    

Jeonghan memilih untuk tetap berada di kediaman Taeyong saat Joshua tadi menawarinya apakah dia ingin ikut menemani Joshua dan Johnny mewakili Emma di upacara penghormatan terakhir untuk mengenang Taeyong di gereja dekat universitas tempat Taeyong mengajar.



Jeonghan pikir sudah ada Johnny dan Joshua di sana. Tidak perlu dia juga ikut-ikutan ke sana. Jeonghan pikir lebih baik dia tinggal di kediaman untuk menemani Emma. Dari Joshua juga Jeonghan mendengar bahwa belum ada keluarga Taeyong dan Emma yang datang untuk menemani gadis itu di masa berkabungnya. Jadi hanya ada Johnny, Joshua, Jeonghan-serta Yuta yang nanti akan menyusul-yang akan menemani Emma mengurusi seluruh prosesi pemakaman Taeyong.



Setelah menyapa beberapa pelayan yang masih kenal dengannya dan yang juga masih familiar di ingatan Jeonghan, dia berjalan naik menuju ke lantai dua. Tujuan awalnya adalah kamar Emma, tapi pandangannya kemudian terpaku pada pintu ruang kerja Taeyong yang tertutup rapat. Ada police line yang sudah lepas di salah satu sisinya.


Rasa sesak menyeruak dalam hati Jeonghan. Matanya masih menatap pintu ruang kerja Taeyong itu. Belasan jam yang lalu, Taeyong meregang nyawa di sana.


Jeonghan ingin tahu, apa yang dipikirkan Taeyong saat itu ?


Bagaimana perasaan mendiang sahabatnya itu saat dia datang menjemput ajalnya sendiri ?


Apakah sempat terbersit dalam hati Taeyong bahwa jika dia pergi, siapakah nanti yang akan menjaga Emma ?


Bukankah Taeyong menolak untuk meninggalkan kota ini semata-mata agar Emma tidak sendirian di rumah mereka yang besar ini ?


Kenapa sekarang malah dia yang pergi tanpa pamit ? Tidak pada Emma maupun pada sahabat-sahabatnya.


Jeonghan mengepalkan kedua tangannya. Dia memutuskan untuk melewati ruang kerja Taeyong dan langsung berjalan menuju ke kamar Emma. Jeonghan masih hapal letak-letak ruangan yang ada di rumah besar ini. Sejak kecil, karena rumah keluarga Taeyong adalah rumah yang paling besar di kota ini, maka mereka berlima lebih sering menghabiskan waktu mereka di sini. Alasannya adalah untuk belajar bersama, meskipun pada kenyataannya lebih banyak mereka menghabiskan waktu untuk bermain bersama.


Setelah orang tua Taeyong meninggal karena kecelakaan tunggal saat mereka masih duduk di bangku SMP, baik Jeonghan maupun tiga sahabatnya yang lain, bergantian menginap di rumah ini untuk menemani Taeyong supaya sahabatnya itu tidak merasa kesepian.


Langkah Jeonghan berhenti tepat di depan pintu kamar Emma. Perlahan dia memutar kenop pintu. Dan seperti cerita Joshua, Jeonghan melihat tabung oksigen yang stand by di samping tempat tidur Emma. Setelah menutup pintu, Jeonghan berjalan mendekati tempat tidur Emma. Hatinya ngilu melihat wajah pucat dan tirus adik dari mending sahabatnya itu.


Jeonghan membawa tubuhnya untuk duduk di tepi tempat tidur Emma. Tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut. Kembali dia menghela napas panjang. Gadis ringkih ini tinggal sebatang kara sekarang. Satu-satunya keluarga yang dia punya saat ini sudah terbujur kaku di dalam peti mati.


———


"Upacaranya sudah selesai ?"


Joshua yang masuk ke dalam ruang tamu di susul oleh Johnny mendongak ke arah tangga. Jeonghan berdiri di sana. Jas hitam yang tadi dia kenakan sudah tersampir di lengannya dan hanya menyisakan kemeja putih yang membalut sempurna tubuh proposional milik Jeonghan.


Joshua dan Johnny kompak mengangguk. Jeonghan pun turun menghampiri kedua sahabatnya itu.


"Jenazah Taeyong sekarang dimana ?" tanya Jeonghan lagi.


THE SECRETS (95L SVT x NCT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang