"Sebuah hati akan bertahan dengan adanya ketulusan"
~~~
Memori itu, kilas balik bersama Sang Ayah.
#Flashback on
Seorang lelaki berumur kisaran 24 tahun terlihat tengah menggendong putra kecilnya mengelilingi kamar. Ruangan bernuansa angkasa itu kini diisi oleh tawa bahagia dari seorang anak kecil."Yeyyy, hahahaaa!! Piki jadi cupelmennn!!" Bocah laki-laki itu tampak begitu bahagia karena tubuhnya yang terus diajak berputar bagai seorang Superman.
Tak lama, sang ayah menurunkan bocah kecil itu. "Udah dulu ya, Pik. Ayah cape."
Anaknya, Fiki kecil terlihat cemberut. "Yahh kok gitu sih, Yah? Kan kita baru main bentar."
Sang ayah berlutut dihadapan Fiki kecil, perlahan lisannya berbicara, "Piki, kan ayah abis pulang kerja. Lagian ini udah malem. Piki jujur deh, pasti Piki juga cape, soalnya tadi waktu ayah pulang, ayah liat Piki lagi main sama Bi Ratna. Sekarang waktunya Piki istirahat. Nanti besok deh, ayah janji bakal pulang lebih awal, biar bisa main bareng sama Piki."
Fiki kecil hanya mengangguk kecil, perlahan cemberut di wajahnya sirna. "Yaudah deh, tapi besok ayah janji ya, bakal temenin Piki jadi cupelmen lagi."
Sang ayah tersenyum, sembari mencubit gemas hidung kecil milik putra satu-satunya itu. Untuk anak seumuran Fiki, lancar berbicara dengan penyebutan kata yang mulai fasih merupakan salah satu hal yang langka."Iya, ayah janji." Ia mengulurkan tangan kanannya dengan jari kelingking yang terangkat.
Fiki kecil terlihat menautkan kelingking mungilnya dengan kelingking Sang Ayah. "Yeeyy, Piki sayang banget sama ayah," lalu ia beralih memeluk sang ayah.
"Dan ayah jauh lebih sayang sama superman nya ayah yang satu ini."
Janji itu, manjadi ikatan janji terakhir yang terucap dari sang Ayah. Janji sederhana tersebut sirna, setelah sang ayah mengalami kecelakaan keesokan harinya. Dalam perjalanan pulang, mobilnya hilang kendali, dan berakhir jatuh ke jurang. Jasadnya tidak ditemukan, namun dirinya dinyatakan meninggal dunia.
Mulai hari itu, Fiki kecil pada akhirnya dititipkan ke panti asuhan. Hidupnya waktu itu benar-benar hanya diisi oleh sepi. Berada di tengah orang banyak, namun benaknya selalu beranggapan sendiri. Tawa canda bahagia ditelan habis oleh gairah hidup yang pargi. Harus kehilangan ibunda setelah lahir dan harus kehilangan ayah di usia dini. Sungguh, hal tersebut bukan perkara yang mudah dilalui.
Tak genap 1 tahun menetap di panti asuhan, pada umur 3 tahun 6 bulan ada seorang lelaki yang mengangkat Fiki kecil menjadi anak. Rendra Athana Aksakara. Almarhum papahnya sekarang.
Lelaki itu membuat hidup Fiki diisi oleh warna kembali. Tak lagi sendiri, bahkan mendapat pengganti. Susah menerima, namun ini lebih baik daripada sepi sahaja.
Orang tua dan empat orang Abang sekaligus, benar-benar menjadi kejutan untuk hidup Fiki kecil. Keluarga baru, suasana baru, dirinya resmi menjadi bagian Aksakara.
Fiki kecil hanya beranggapan bahwa saat itu memang waktunya dia untuk bahagia. Namun buku kehidupannya berkata lain, masih banyak warna yang harus ia lalui. Tak hanya merah, kuning, dan hijau. Dia juga harus mulai mengenal warna terang dan gelap. Seiring langkah nya berlalu, semakin banyak pula warna yang ia kenal. Warna cerah selalu mengajaknya bersahabat dengan keadaan. Namun datangnya warna kelam memaksanya untuk selalu tercekam.