"Pengen nyusul papah.." -Shandy
"Pengen ikut papah.." -Zweitson
"Pengen bareng papah.." -Fajri~~~
Derai-an hujan menemani sesi pengantaran seorang Rendra Athana Aksakara, pemilik perusahaan Aksakara, ke peristirahatan terakhirnya. Gundukan tanah basah itu mulai ditinggalkan oleh para insan yang tadi ikut mengantarkan. Menyisakan Farhan, Shandy, Fajri dan Fiki disana. Kemana Zweitson? Keadaannya yang masih buruk tidak memungkinkan untuknya ikut mengantarkan sang ayah ke liang lahat.
"Pah.. Ahan gak siap. Ini sakit, pah." Farhan melirih menatap gundukan tanah itu. Ahan, adalah panggilan kesayangan yang diberikan kepada Farhan di saat dirinya masih kecil.
"Pah, papah bilang gak bakal ninggalin Shan. Kenapa sekarang papah ngingkarin janji papah?" Shandy menunduk, tepat sebelum tubuhnya ambruk di pelukan Farhan.
"Shan, bangun. Gue mohon jangan kaya gini" Farhan mengeratkan pelukannya, menyalurkan kekuatan untuk adiknya ya g hanya lebih muda satu tahun dengannya itu.
"Pengan nyusul papah.." Shandy melirih begitu pelan dengan kesadarannya yang tersisa sebelum ia benar-benar pingsan.
"Shan, Shandy! Bangun, Shan!" Farhan menggoyangkan tubuh Shandy perlahan, berharap adiknya itu akan memberikan sebuah tanda bahwa ia akan bangun saat itu juga.
Merasa tak ada respon, Farhan akhirnya memilih membawa Shandy keluar dari kawasan pemakaman "Ji, BangHan duluan ya, BangHan harus bawa BangSen pulang sekarang. Kasian, maag nya kambuh kayaknya. Aji jangan lama lama ya sedihnya, inget Soni nungguin aji di rumah sakit"
Fajri menjawab pelan "Iya, bang. Hati-hati"
Farhan tersenyum pahit melihat ketegaran adiknya itu. Ia mengakui Fajri jauh lebih kuat darinya. Bahkan ia berpikir, Fajri lebih pantas terlahir sebagai anak pertama dibanding dirinya.
Farhan melangkah sembari memapah Shandy. Sebelum benar-benar pergi ia melempar tatapan tajam pada Fiki yang sedari tadi berdiri di belakang Fajri.
Fiki menunduk, menyembunyikan wajahnya, berusaha menghindari tatapan Farhan.
Sepeninggalnya Farhan, Fajri yang awalnya berdiri kini berlutut lemas di samping makam sang papah.
"Pah.. papah udah bahagia kan?" Fajri terkekeh miris dengan air mata yang sedari tadi ia tahan. Ia melirik makam sang adik dan sang ibunda yang terletak tepat di samping makam sang papah.
"Pasti papah udah kumpul lagi sama mamah, sama Dek Yara. Mamah masih cantik kan pah? Dek Yara gimana? Pasti cantik juga. Iya dong, kan adik nya Aji" Fajri merunduk. Tangannya meremas gundukan tanah itu. Matanya terpejam, berusaha menahan cairan yang semakin deras mengalir dari netranya.
"Pah, Aji pengen ikut. Aji pengen sama papah. Tungguin Aji ya pah, nanti Aji nyusul kok" Fajri menyenderkan tubuhnya pada batu nisan sang papah.
Fiki yang mendengar perkataan sang Abang langsung menariknya ke pelukan. Berusaha menghentikan apa yang abangnya katakan.
"Bang, jangan ngomong gitu!" Fiki semakin mengeratkan pelukannya saat isakan kecil Fajri mulai terdengar.
"Pengen ikut papah.."
Fiki menggeleng menentang lirihan Fajri.