Dari banyaknya orang sedang berbelasungkawa hanya satu orang kini tengah ku amati, dalam posisi duduk pada sebuah kursi arah pandang tak pernah lepas mengawasi. Seorang wanita paruh baya tengah sibuk memberikan sebuah wadah kotak untuk dibagikan kepada orang-orang yang datang, entah apa itu isinya aku hanya menebak adalah makanan.
Hingga acara selesai, beliau datang ke arahku. Menghampiri dengan tatapan penuh kasih dengan senyum lembut urung lepas dari bibir, entah memang seperti itu wataknya Aku pun tidak mengerti.
"Maafkan Ibu, Awisa. Ibu melupakanmu bahwa kamu sendiri juga kesayangan simbah, detik-detik terakhir pun simbah masih sempatnya menyebut namamu."
Ujarnya, pelan bagai bisikan.
"Kamu menjadi seperti ini pun... Ibu tahu kamu terpukul akan kepergian simbah, jangan bersedih. Masih ada Ibu, Ayah, dan kakakmu yang siap menghiburmu."
Aku mengundurkan kepala disertai kerutan alis menghiasi wajah, orang ini—siapa dia?
"Simbah?"
Wanita itu mengangguk, tangan kanan tanpa sungkan mengusap kepalaku penuh sayang.
"Nenekmu, kamu tidak lupa 'kan?"
Nenek? Ibu? Mereka ini adalah keluargaku?
Kepalaku berdenyut sakit, pandangan mulai memburam disertai titik-titik hitam terus bermunculan. Sampai semua terasa gelap, Aku terdiam selama beberapa saat.
Satu kalimat terbesit dalam pikiran, apa Aku sedang berhalusinasi?
"Isa! Sa! Bangun! Kamu baik-baik aja 'kan?"
Guncangan keras pada tubuhku lekas berusaha bangkit dari situasi tak mengenakkan, kepala yang tak lagi gayang membuatku bersicepat menggerakkan salah satu tangan sebagai isyarat bahwa Aku baik-baik saja. Diikuti kelopak mata terbuka, kali pertama yang ku lihat adalah Bima.
Laki-laki ini, Aku sungguh tidak menyukainya entah mengapa.
"Lepas!"
Sigap Bima segera melepas kedua tangan sedari tadi memegang kedua pundakku, lelaki itu lantas berdiri dengan kedua bola mata sibuk menjelajahi sekitar. Demikian Aku turut mengikuti, lagi-lagi pagi urung tiba dibuat sulit melihat segala apa pun yang ada di sini.
"Sa, kaki kamu baik-baik aja? Maaf, nggak sengaja nginjek."
Ekspresiku saat ini gondok bukan kepalang, membuang pandang lebih tepat ketimbang menatap sang lawan bicara. Intonasi nada terdengar lugu, nyaris Aku ingin mencekiknya. Dari sekian hal kejadian, mengapa harus sengsara ini bersama Bima?
"Maaf."
"Kata maafmu tidak berarti apa-apa untukku, semudah itu kamu mengucapkan tanpa ada sedikit pun tindakan. Apakah pantas disebut seorang laki-laki?"
Bima tidak lagi menjawab, orang itu lebih memilih melangkahkan kakinya ke depan. Meninggalkanku seorang diri terduduk diam tak berdaya, bahkan ucapanku dianggapnya angin lalu. Sejemang ingin bangkit tidak kuasa kaki kanan utuk berdiri, rasa ngilu dan sakit bersamaan membuatku kembali ke posisi semula.
"Bima! Gendong Aku!"
Suara kaki tengah berjalan perlahan menjauh, semakin Aku berupaya bangkit dan mengejar dalam keadaan kaki kanan bergerak pincang. Emosi belum saja lingsir akan perbuatannya beberapa waktu lalu, kini lebih-lebih Bima menelantarkanku.
"Si—sial,"
Alas kaki saling bergesek dengan rumput menemaniku dari temaram malam, lebatnya pepohonan menutupi sinar rembulan asik memancarkan cahayanya di segala penjuru. Mendepas pasrah pada keadaan cukup menyulitkan, ini sama saja seperti nekat mati. Untuk sekarang Aku berpikir tidak ingin mati dalam kondisi macam ini, begitu konyol dan payah karena tak bisa membanggakan diri mati dengan layak. Persetan itu, ingin sekali diriku lekas keluar dari hutan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Betakhta 2
Historical FictionSejatinya makhluk paling sulit dimengerti adalah manusia, mereka yang memiliki sifat dan karakteristik jauh berbeda dari warna hati tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Pengorbanan dan kesetiaan kadang kala mewakili perasaan yang tidak mudah unt...