3. Pecundang

342 34 3
                                    

Lamanya waktu diam terpekur, membuat Bima tidak tahan untuk segera keluar dari persembunyian. Demikian Aku hanya menatap dalam diam tanpa sedikit melakukan pergerakan, mengamati bagaimana Bima bertanya pada sebuah pertanyaan kurang dimengerti maksudnya.

"Permisi, mohon maaf kami tersesat. Aku -ingin meminta tolong, bisakah kalian membantu kami mencari jalan keluar dari hutan ini? Maaf sebelumnya, kalau sudah mengganggu-"

Kalimat tertunda sejemang, bola matanya menatap sekitar penuh selidik. Seakan tengah mencari-cari sebuah benda tengah tersembunyi, yang ujungnya kembali menatap sang lawan bicara.

"~Syuting kalian."

Lanjutnya, mencoba bernapas lega. Sedang orang-orang berpakaian setengah telanjang itu hanya saling bersitatap, tombak mereka sedari tergenggam tegak perlahan dicondongkan ke arah Bima.

Bima bodoh. Dasar bodoh.

"Kamu-memangnya berasal dari mana?"

Bima melipat bibir, lalu menjilatnya beberapa menit sekali. Tangan kanan menunjuk pada sebuah arah dari mana kami pergi, lalu matanya mengarah padaku terang-terangan.

"Di sana, ada sebuah tebing. Aku dan adikku jatuh dan terguling lalu tersasar sampai kemari."

Cepat, mereka mengalih tatap. Aku yang sudah ketahuan hanya memasang senyum datar, tentu tersirat raut muka sebal bukan kepalang. Lagi-lagi Bima menyeretku pada masalah akibat ulahnya sendiri.

Meski ragu segenap nyali memberanikan diri maju ke depan, menatap mereka satu-persatu penuh gelisah. Sampai di antara mereka yang ku rasa sebagai pemimpin, hanya membuka mulut setengah terbuka.

"G-gus, kalau boleh tahu-siapa namamu, nimas?"

Tatapan orang itu, seakan sedang mencoba menggali suatu informasi dariku.

"Awi-"

"Dyah Diyantra, namanya."

Melesat cepat Bima membalas, membuatku bergumam akan sebuah nama yang pernah Ia sebutkan di awal.

"Dyah Diyantra?"

Aku bergumam, nama terdengar unik dan tak asing. Meski begitu diri sendiri lebih menyukai orang-orang memanggilku dengan sebutan 'Awisa', sebuah nama yang diberikan oleh Ibuku seorang. Demikian tahu maksud lelaki itu, dia tak mau Aku membeberkan nama asli kepada orang tak dikenal. Merasa waspada agar terhindar dari segala niat buruk, yang justru nama palsu menjadi bingkai semua kebohongan.

"Ya, benar. Itu namaku, panggil saja Diyantra. Aku merasa kata 'Dyah' sangat pasaran."

Kataku, membenarkan.

Laki-laki berperawakan umur 35 tahun itu hanya mengangguk, kemudian menyuruh anak buahnya untuk menurunkan masing-masing tombak teracung tajam. Dari hal tersebut tidak dipungkiri juga gayanya sembari berkacak pinggang diselingi tangan kiri menyangga dagu macam orang tengah menerka, sikapnya yang seperti itu terus menekankanku untuk berprasangka hal-hal buruk.

"Kalau begitu, bisa disimpulkan Nimas sendiri tidak tahu berasal dari mana?"

Lagi, pertanyaan kedua terlempar. Ditujukan kepadaku untuk segera menjawab, Bima yang sedari tadi bergeming lantas bergerak kaku melangkah cepat mendekatiku. Wajahnya sangat pias, tak bisa Aku menjabarkan seperti apa. Keringat yang terus menetes sekitar pelipis, diusapnya kasar mencoba mengurangi kegugupannya.

"Ya--sekiranya kami bukan dari sekitar sini. Kami hanya kebetulan lewat, namun karena tidak biasa menaiki bus dia mabuk di tengah jalan. Maafkan kami karena sudah merepotkan."

Bima melirikku sekilas, sembari Aku memejam mata erat upaya menetralisir rasa geram terhadapnya. Alasan cukup bagus jika itu yang dikatakan, secara tak langsung mengungkap adalah kesalahanku sehingga kami terperosok ke tempat ini. Tidak tahu saja kalau penyebab Aku mual bukan karena menaiki kendaraan kotak berjalan itu. Ini semua karena ucapannya beberapa waktu lalu terus terngiang-ngiang, membuatku muntah dan muak secara bersamaan.

Cinta Betakhta 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang