5. Temu

182 17 0
                                    

Kicauan burung yang mengusik pagi menyadarkanku dari tidur pulas, ditambah samar cahaya langit perlahan muncul dengan warna semburat kemerahan. Sembari mengucek mata Aku terpaku diam mencoba mengumpulkan kesadaran mulai pulih, sesaat kedua netra mengamati ramainya keadaan diisi oleh kesibukan. Masing-masing dari mereka menyiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan menuju perbatasan dari salah satu antara dua kerajaan.

Sedikit gontai tubuhku berjalan mendekati Triasa, gestur tubuhnya cukup khas untuk diingat lekas membuatku hapal. Lelaki itu tengah sibuk membersihkan abu dari api unggun, demikian Aku melontar kalimat dari arah belakang.

"Triasa, katamu kemarin batas wilayah Kerajaan Talu sudah dekat. Apa kita akan berjalan ke arah sana? Mencari bantuan?"

Suara khas bangun tidur terdengar serak, tidak enak rasanya berbicara dalam keadaan seperti ini terutama pada Triasa. Demikian lelaki itu merapikan gendewa dengan dimasukkan ke dalam sebuah wadah di balik punggung, reflek dia menggeleng keras. Kedua matanya jatuh menatap Bima urung bangun dari tidur, perilakunya yang satu itu nyaris membuatku hilang muka.

"Bukan, ka-kami tidak berniat ke sana. Sedari awal memang salah jalan, niat kami sesungguhnya adalah menuju Kerajaan Sumbhara."

Sumbhara?

Aku melenggut manut, mengiyakan perkataan Triasa.

"Setelah itu? Untuk bertemu seseorang itu? Kapan?"

"Sore ini."

Oh, baiklah. Lagi-lagi aku menggangguk, diselingi mata menatap dedaunan jatuh tepat di sebelah kiri pundak. Demikian sembari berpikir, jika diingat-ingat dari semua yang terjadi masalah ini tidak akan terselesaikan dengan cepat. Sepertinya akan membutuhkan waktu lama, untuk keluar dari hutan dan terbebas dari mereka-mereka yang baru dikenalnya.

"Apa desa kalian dekat dengan terminal bus? Atau apa pun itu dekat dengan wilayah kabupatan atau sesuatu yang ramai, misalnya?"

Kembali diriku bertanya, mengentaskan segala keingintahuan dengan mengorek informasi dari Triasa. Pikiranku saat ini hanya ingin istirahat, kepala terus berdenyut secara tiba-tiba cukup menghabiskan tenaga sekedar berjalan. Kira-kira untuk sampai ke rumah akan membutuhkan waktu berapa lama?

"Ah, kamu juga ingin ke sana?"

Wajah Triasa dari keremangan tampak berbinar, kegiatan sedang dikutatnya terjeda sejenak. Sembari bangkit, sebuah pertanyaan meluncur begitu saja.

"Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan sampai datang ke Sumbhara? Kebetulan baginda raja sedang-"

Kalimat itu, jangan ditanya apa aku mengerti atau tidak.

"Bukan, maksudku daerah provinsi Jawa Timur. Kamu tahu Kabupaten Guntar? Ehmm, sekiranya hanya satu nama itu saja yang aku ketahui."

Triasa tampak terpekur, seakan sedang mengingat sesuatu urung ketemu. Tangan kanan menempel pada dagu turut melarutkanku ikut berpikir, bahwasanya apa ada di daerah ini memiliki nama 'Sumbhara'?

"Maaf, Diyantra. Sepertinya memang tidak ada nama yang seperti itu. Atau kemungkinan besar kamu salah ingat."

Ringisnya, diselingi menggaruk kepala.

"Ah baiklah, mungkin begitu. Sudah hampir dua minggu diriku bagai orang linglung, bahkan nama wilayah tempat tinggalku sendiri tidak ingat."

Turut diriku menimpali seperti bergumam, dari obrolan buntu lantas Aku bergegas mendekati Bima. Lelaki itu, saat ini tengah melamun di antara banyak orang. Bisakah Ia sebagai 'tamu' bersikap lebih bijak?

Perjalanan dilakukan setelah matahari benar-benar muncul dan bersinar di antara awan, sepoi angin dan embun pagi mengiringi kami sampai udara yang terhirup terasa sejuk. Hijaunya alam menjadi bahan objek dengan kedua mata, dapat dilihat bagaimana hutan tengah dipijaki begitu segar sejemang ditatap.

Cinta Betakhta 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang