Ujung Pelangi

36 13 11
                                    

Karya : mooniemakeu

☯︎
☯︎

Kalau hujan sudah berhenti nanti, kita akan bermain lagi 'kan, Bang?”

☔︎ Happy reading ☔︎
-------------------------------

🧸🧸🧸

07 November 2047

Suara gemericik air masih terdengar, walaupun netranya tak dapat menangkap akan hadirnya air hujan yang jatuh ke bumi. Aroma khas penyatuan tanah dan air hujan cukup memabukkan, sedikit tenang rasanya karena kemajuan teknologi tak berhasil merenggut sedikit lahan tanah di samping rumah itu.

Sayup-sayup terdengar suara dari luar kamar, lelaki dengan paras memasuki usia kepala tiga itu masih santai di kursi pijat. Dapat ia tangkap suara yang memanggil namanya, tersenyum bibir itu bila sudah mendengar suara cerewet sang anak.

"Ayah! Ayah! Boleh aku masuk? Ayah ...!"

"Masuk saja, Nak, pintunya tidak Ayah kunci."

Bunyi gagang pintu terbuka terdengar bersamaan dengan terbenturnya pintu itu ke dinding. Senyum makin merekah kala dilihatnya sang anak berlari tergopoh-gopoh menghampiri dirinya.

"Ayah, di luar ada pelangi! Warnanya seperti bajuku, Ayah tidak mau lihat?" Gerak tubuh dari si kecil berbaju pelangi itu terlihat sekali antusiasnya. Namun, sang ayah nampaknya punya hal lain di pusat neuronnya.

Ketika nama dari fenomena tujuh warna itu terdengar, putaran kisah masa lalu langsung menyerang otaknya. Hari di mana ia masih bisa mencari ujung pelangi.

🧸🧸🧸

16 Juni 2024

Luapan amarah dari semesta nampaknya masih menimbulkan cemooh dari para makhluk hidup di bumi, terutama manusia. Mereka berjalan dengan angkuhnya seolah tanah itu sudah jadi hak milik mereka. Memporak-porandakan dengan dalih hendak menukar hal lama dengan sistem kekinian.

Kota Amameru kini tak ubahnya bagai kota kabut yang hilang. Pusat pemerintah dahulunya mengagungkan Kota Amameru sebagai kota paling maju. Peradaban mereka jauh dari kata kuno, bahkan uang pun dapat dengan mudah dicari.

Jutaan pujian tersebut kini harus lenyap bersamaan dengan datangnya dendam dari semesta. Asap dari tiap pabrik, kebakaran hutan, ragam polusi, dan lainnya mulai menagih janji manusia yang katanya mencintai alam mereka.

"Abang! Abang! Tebak apa yang kutemukan?" Seruan dari bocah yang ditaksir berusia tujuh tahun itu terdengar, langkah kakinya sedikit cepat dengan semangat yang jelas terlihat. Di tangannya ada bungkus kain berwarna coklat.

Yang dipanggil menoleh, tersenyum menyambut kedatangan sang adik. Ditatapnya benda yang disodorkan oleh sang adik. "Ini apa, Ren?"

"Kerang, Bang! Aku dengan teman-teman pergi ke laut. Inginnya kami hendak mencari kepiting, tetapi nampaknya raja kepiting sedang tak mau rakyatnya bermain dengan kami," jawab sang adik dengan wajah sedikit murungnya.

Sang kakak yang masih mempertahankan senyumnya mengelus pelan kepala adiknya lalu berkata, "Kau dan teman-temanmu akan membuat raja kepiting murung jika kalian mengambil salah satu dari rakyatnya."

"Benarkah, Bang? Kepiting juga bisa murung?" Tangan si adik menerima kembali bungkusan kain coklat bertuliskan namanya itu.

Dimas Aldaren.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang