13. Senandika

8.2K 749 14
                                    

P A R A P E J U A N G

- S E N A N D I K A -

Juna kira dia akan bahagia bersama Bunda, dia akan hidup tenang bersama Bunda, menyembuhkan luka serta mengobati rindu. Tapi nyatanya, Tuhan masih ingin dia bernapas. Kembali melawan semesta yang selalu mempermainkannya.

Selamat berjuang kembali pejuang.

1 hari setelah Juna sadar, remaja pemilik senyum kotak itu terus diam. Berbicara seperlunya serta netra yang selalu menatap jendela; yang kalau ditanya ada apa, 'ada kebebasan' jawabannya.

Juna ingin bebas.

Bebas dari segala hiruk pikuk dunia yang membingungkan. Bercanda tak tahu waktu.

"Mau sampai kapan kamu liat kesana?" Adrian yang sedari tadi berada didekatnya hanya bisa menghela kasar, dia tahu apa yang dirasakan Juna. Selain luka fisik, Juna juga mempunyai luka batin yang sulit sekali untuk sembuh.

"Juna, coba jawab Ayah. Ada apa disana, nak?" Nada bicaranya lembut sekali; tidak ada bentakan yang selalu membuat telinganya sakit.

"Bang Galen kemana, Yah?"

Pertanyaan spontan dari Juna membuat Adrian dan Farhan terdiam. Diantara yang lain, Galen benar-benar belum pernah datang untuk melihat Juna. Sekedar bertanya keadaannya saja tidak.

"Dirumah? Bang Galen gak minta maaf sama Juna. Padahal kata dia, Juna harus minta maaf walau Juna gak salah. Kenapa, Yah?"

Juna bergerak pelan hingga menciptakan rasa sakit disekujur tubuhnya kala bergesekan dengan bantal yang menjadi tempat bersandar. Menatap Ayah dan Kakak pertamanya bergantian; melayangkan tatapan penuh kekecewaan didalamnya.

"Gak adil! Kenapa dunia gak adil sama Juna, Ayah!"

"Juna selalu minta maaf atas kepergian Bunda walaupun itu bukan salah Juna! Tapi mereka? Kenapa mereka seolah gak pernah jahat sama Juna? Kenapa mereka bersikap seolah memang Juna yang salah disini?"

Bagai ombak yang menubruk batu karang, hati Adrian maupun Farhan sama-sama berdesir nyeri. Terlebih kala Juna berucap dengan mata berkaca-kaca serta terpampang kekecewaan yang mendalam.

Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa Juna benar-benar kecewa. Terlebih bagi Juna, 2 tahun memendam luka yang dalam bukanlah hal yang mudah.

Tapi ini Juna, yang hebat dan kuat.

Pejuang Bunda dengan gelar 'Terhebat'.

"Dan- dan kenapa Ayah pulang saat Juna udah sekarat? Saat Juna hampir nyerah! Hampir mati!"

"KENAPA?"

Bentakan keras Juna seolah menyadarkan mereka dari lamunan, Farhan menatap Juna yang menangis dengan netra bergetar. Lagi dan lagi dia merasa gagal menjadi seorang 'kakak'.

Juna memejamkan mata tak kala rasa sakit menghujani area dadanya.

"Enggak- Juna denger Ayah dulu, ya?"

Juna menggeleng ribut sambil meronta meminta dilepaskan dari tangan Adrian yang kini akan mendekapnya. Entah kenapa dan secara tiba-tiba bayangan Galen yang akan memukulnya waktu itu tergambar jelas, bahkan bentakan penuh makian itu berputar seperti kaset rusak dalam kepala Juna.

Kala dimana kaosnya ditarik kasar oleh Galen, lalu Galen yang mulai membuka ikat pinggangnya, dan setelahnya...

Bahkan Juna masih ingat dengan rasa sakit itu. Rasa sakit yang membuat dia ingin mati saja, mati semati-matinya agar dia bebas dan tenang.

Padahal yang mati saja didoakan tenang.

"Hei, kamu tenang dulu, ya. Tenang Juna, disini ada Ayah." Meskipun beberapa kali ditepis kasar oleh anaknya, Adrian tidak akan menyerah begitu saja untuk menenangkan sang anak. Dia menatap Farhan yang sejak tadi hanya diam, untuk meminta bantuan.

"Gak! Gak mau! Sakit Bang... Juna gak mau!"

Semakin Adrian mendekat, maka Juna semakin keras berteriak. Merancau tak jelas yang membuat kepanikan Adrian dan Farhan meningkat. Maka tanpa basa-basi, Farhan lekas memanggil dokter sementara Adrian berusaha mengunci pergerakan Juna.

"Ampun Bang... J-Juna minta maaf... j-jangan, jangan pukul Juna!"

Adrian termenung bersama Juna yang meraung. Pikirannya berkelana jauh entah kemana. Melihat anaknya terus merancau menyuruhnya berhenti dan meminta ampun; padahal dia tidak melakukan apapun.

"Maaf Pak, bisa beri kami ruang?"

Seorang dokter kembali menariknya dari lamunan. Dia lantas bangkit membiarkan Juna diatasi sebagaimana mestinya.

"Yah, J-Juna kenapa?"

Farhan bertanya lirih, tatapanya menatap hampa pintu ruangan Juna yang tertutup. Ada gejolak tak nyaman dan rasa takut yang mengalir diseluruh tubuhnya.

"Juna gak papa. Kamu gak usah panik, oke?" Adrian menguatkan anak pertamanya dengan sepenuh hati. Meskipun sebenarnya dia tak jauh berbeda.

Farhan menggeleng pelan, perasaannya semakin merasa bersalah ketika mengingat seberapa bodohnya dia tidak ingin mendengarkan penjelasan Juna tentang insiden yang menimpa Bian beberapa hari lalu.

Bodoh. Ingatan itu seakan mengejek kebodohannya.

Farhan meremat rambutnya erat bahkan memukul kepalanya berkali-kali berharap ingatan itu enyah. Serta rasa penyesalan itu pergi dan tak pernah kembali.

"Salah Farhan, gue bego! Gue bodoh!"

Adrian lantas menoleh pada Farhan dengan tatapan terkejut.

"Farhan!"

Mencoba menghentikan aksi Farhan yang bisa saja melukai darinya.

"Enggak, Yah! Farhan bodoh gak percaya sama Juna, Farhan bodoh gak berhentiin Galen yang narik dia! Andai aja, Yah. Andai aja Farhan cegah Galen yang akan bawa Juna pasti keadaannya gak akan kayak gini! Farhan salah, Yah. Farhan bodoh!"

Adrian menggeleng keras, dan sekarang dia tahu bahwa selain Juna, Farhan juga sama kacaunya.

Tbc..

Garistulis note!

Halo guys, lama gak ketemu.

Aku, Nanda. Benar-benar minta maaf sebesar-besarnya sama kalian untuk chapter ini.
Aku gak tau ini ngefeel atau enggak.

Aku udah berusaha keras buat nyelesain chapter ini didal kondisi kacau😁

Aku harap, kalian terus setia sama Para Pejuang karena sebenarnya, cerita Para Pejuang belum dimulai.

Dalam artian Para Pejuang belum benar-benar dimulai.
Ini masih awal, masih labil.

Sebelumnya makasih yang udah nunggu cerita ini.

Love you.

Para Pejuang [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang