Part 6 |

2.8K 242 2
                                    

Saat ini Uzi dan kedua Kakaknya sudah berada di depan pintu mansion keluarga Cartwright. Setelah pamit dengan anak-anak panti dan Tomi yang selalu mencegat agar tidak pergi.

"Kak Uzi.. jadi Minggu sekarang... Ugh.. nggak ada les belajar lagi.. sampai seterusnya??" Tanya Tomi terisak hebat.

"Maafkan kak Uzi nggak tepati janji. Nanti kakak akan mampir sesekali kesini." Uzi mengusak pelan rambut Tomi, merasa bersalah.

Uzi sangat grogi saat pintu yang menjulang tinggi itu terbuka lebar. Disana banyak sekali orang di ruang tamu. Terlihat beberapa menatap tidak suka dengan kehadiran Uzi dan tuan Elliot atau papa yang menatap haru.

Saat mendapat telfon dari anak keduanya sungguh hati terasa berbunga mendapat kabar bahwa bungsunya ingin tinggal bersama mereka. Segala kebutuhan disiapkan cepat namun teratur.

Ezra melangkah dengan Esther menuju keluarga besar yang duduk apik di ruang tamu. Sedangkan Uzi, dia mundur tidak mengikuti dua kakaknya.

Sejak awal kaki ini berpijak ke mansion besar itu beberapa bayangan ingatan samar dan tidak jelas masuk ke dalam memori. Memaksa untuk mengingat bahwa tempat terkutuk itu tidak cocok untuk dirinya. Namun, Uzi menahan dengan baik hingga tatapan tajam dan penuh kebencian menjadi awal yang dia dapatkan ketika pintu terbuka.

Dia tidak ingin disini. Harusnya bunda Azami ikut dengannya. Uzi takut. "Aku tidak ingin disini." Batin Uzi.

Uzi berlari keluar dari sana. Mengikuti langkah kakinya entah kemana. Yang penting tidak satu ruang dengan mereka.

Sadar Uzi tidak ikut jalan di tengah mereka menoleh ke belakang. Dengan kepala tertunduk dan kedua tangan terkepal kuat.

"Uzi-"

Uzi berbalik lalu lari kencang meninggalkan mereka yang tersentak heran. Mengabaikan panggilan papa atau kakaknya.

***
Sosok remaja duduk di sudut ruang dengan kaki di tekuk dan menyembunyikan kepala disana. Kedua tangannya menutup kedua telinga yang sedari tadi bising tak terelakkan.

"Sudah kuduga kamu tidak akan kuat. Aku sudah memperingatimu sebelumnya, Uzi."

Tak tak

Suara angkuh terdengar mengalahkan mereka. Perlahan Uzi mengangkat kepala melihat sosok yang selalu menampilkan seringai sinis.

"Aku tidak ingin disini. aku tidak mau ingat itu semua." Guman putus asa Uzi.

Stevan terkekeh kecil. "Apa aku harus bersenang-senang dengan nenek dari pihak ibu mu? Dilihat dari matanya saja dia ingin sekali."

Amira, ibunda dari wanita yang melahirkannya. Dia yang terlihat sekali aura kebencian terhadap Uzi.

"Jangan sekali-kali kamu bertindak melebihi batas." Tekan Uzi.

Stevan tertawa mendengar Uzi seakan melindungi mereka-mereka yang membencinya.

"Terserah aku. Aku yang menguasai tubuhku. aku kuat. Dan yang terpenting aku tidak sepengecut dirimu Uzi." Dengus Stevan menantang.

Setelah itu, keadaan hening. Stevan sudah hilang dihadapannya. Dan Uzi kembali menunduk di kedua kakinya. Menangis tanpa suara dengan bahu bergetar hebat.

Kriett

"Sudah kakak duga kamu pasti kesini." Seru senang orang itu di tengah lelah sehabis lari.

Uzi tidak mengindahkan, dia masih nyaman dengan posisinya saat ini.

Esther melangkah cepat ke arah adiknya. Memeluk tubuh rapuh penuh luka batin yang belum sembuh. Menepuk-nepuk pelan seraya mengucapkan kata penenang.

"Ada kakak, Uzi tidak perlu takut. Adek Kakak hebat bertahan hingga tiba dirumah. Tidak apa. Adek boleh kok tumpahin semua emosi terpendam adek selama ini. Kakak tunggu sampai selesai. Gak papa." Tutur tenang nan halus Esther sambil mengusap punggung sempit adiknya.

Above the CloudsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang